JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menetapkan kebijakan pengurangan tarif atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk mempermudah wajib pajak tertentu dengan besaran pengurangan hingga 100%. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 82/PMK.03/2017 tentang Pemberian Pengurangan PBB.
Dalam PMK yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 20 Juni 2017 itu disebutkan, pengurangan PBB dapat diberikan kepada wajib pajak yakni karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak. Kemudian dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
"Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud yaitu kerugian dan kesulitan likuiditas pada akhir tahun buku sebelum tahun pengajuan permohonan pengurangan PBB dalam hal wajib pajak menyelenggarakan pembukuan, atau akhir tahun kalender sebelum tahun pengajuan permohonan pengurangan PBB dalam hal wajib pajak melakukan pencatatan," bunyi pasal 2 ayat (2a.b) PMK tersebut, seperti dikutip dari laman Setkab, Senin (10/7).
Kerugian sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, yaitu kerugian komersial yang diketahui dari: a. laporan keuangan yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh; atau b. pencatatan yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh, dalam hal wajib pajak tidak menyelenggarakan pembukuan.
Sedangkan kesulitan likuiditas sebagaimana dimaksud merupakan kondisi ketidakmampuan Wajib Pajak dalam membayar utang jangka pendeknya dengan kas yang diperoleh dari kegiatan usaha.
Bencana alam sebagaimana dimaksud merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, atau tanah longsor.
"Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dapat diberikan: a. sebesar paling tinggi 75% dari PBB yang terutang dalam hal kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak; atau b. sebesar paling tinggi 100% dari PBB yang terutang dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa," bunyi Pasal 4 ayat (1a,b) PMK ini.
PBB yang terutang sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, yaitu jumlah pokok pajak yang tercantum dalam SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang), jumlah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi yang tercantum dalam SKP (Surat Ketetapan Pajak) PB, atau jumlah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi yang tercantum dalam STP (Surat Tagihan Pajak) PBB.
Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, diberikan berdasarkan permohonan wajib pajak yang ditujukan kepada Menteri Keuangan dan disampaikan melalui Kepala KPP (Kantor Pelayanan Pajak).
Ditegaskan dalam PMK ini, permohonan pengurangan pajak karena kondisi tertentu harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT, 1 bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SKP PBB, 1 bulan terhitung sejak tanggal diterimanya STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB, atau 1 bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat keputusan pembetulan atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang diterbitkan.
Sedangkan permohonan pengurangan PBB terhadap objek pajak yang terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa, menurut PMK ini, harus memenuhi ketentuan, yaitu diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 bulan terhitung sejak tanggal terjadinya bencana alam atau sebab lain yang luar biasa, dan mencabut pengajuan keberatan PBB, banding, peninjauan kembali, serta permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan PBB yang tidak benar, atau pengurangan/penghapusan denda administrasi PBB, dalam hal atas pengajuan atau permohonan dimaksud belum diterbitkan keputusan atau putusan.
"Kepala Kanwil DJP (Dirjen Pajak) atas nama Menteri Keuangan berwenang melakukan pengujian, penelitian, dan memberikan keputusan atas permohonan Pengurangan PBB," bunyi Pasal 9 PMK ini.
Selanjutnya, Kepala Kanwil DJP dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan terhitung sejak tanggal surat permohonan pengurangan PBB diterima, menurut PMK ini, harus memberi keputusan atas permohonan Pengurangan pajak bumi dan bangunan sebagaimana dimaksud. Keputusan Kepala Kanwil DJP sebagaimana dimaksud, tegas PMK ini, dapat berupa mengabulkan seluruhnya, mengabulkan sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
"Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 16 PMK Nomor: 82/PMK.03/2017, yang diundangkan oleh Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana pada 21 Juni 2017 itu. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.