RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa atas Pembuktian Status BUT Wajib Pajak

Hamida Amri Safarina | Kamis, 20 Mei 2021 | 15:35 WIB
Sengketa atas Pembuktian Status BUT Wajib Pajak

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai pembuktian status bentuk usaha tetap (BUT) wajib pajak. Perlu dipahami, wajib pajak merupakan kantor perwakilan dagang dari suatu perusahaan yang berkedudukan di Jepang (X Co).

Otoritas pajak menyatakan wajib pajak merupakan BUT dari X Co yang berkedudukan di Jepang. Pendapat otoritas pajak tersebut dibuktikan dengan ditemukannya fakta wajib pajak terdaftar pada KPP badan dan orang asing sejak 10 Juni 2002.

Selama berada di Indonesia, wajib pajak juga telah melakukan kewajiban perpajakan PPh Pasal 21, PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26. Selain itu, wajib pajak juga telah memenuhi beberapa kriteria sebagai BUT sesuai Pasal 5 ayat (1) OECD Model.

Baca Juga:
Anies-Ganjar Minta MK Panggil Menkeu-Mensos di Sidang Sengketa Pilpres

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan pihaknya bukan merupakan BUT dari X Co. Sebab, Termohon PK hanya menjalankan usaha bersifat penunjang dan persiapan. Pasal 5 ayat (4) huruf e P3B antara Indonesia dan Jepang mengatur yang dikecualikan dari pengertian BUT adalah kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang untuk kepentingan perusahaan.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan mahkamah Agung atau di sini.

Baca Juga:
Sengketa Koreksi DPP PPN atas Jasa Pengangkutan Pupuk

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan kegiatan pemasaran produk dari X Co kepada konsumen akhir di Indonesia sudah dilakukan perusahaan lain. Selain itu, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai dalam laporan keuangan bulanan waib pajak tidak memuat adanya kegiatan promosi yang dilakukan.

Kegiatan utama yang dilaksanakan wajib pajak ialah melakukan penelitian terkait dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia serta potensi persaingan usaha yang ada di Indonesia. Berdasarkan pada uraian di atas, Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat menerima koreksi yang dilakukan otoritas pajak.

Selanjutnya, terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 74047/PP/M.VIA/27/2016 tanggal 6 September 2016, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 22 Desember 2016.

Baca Juga:
KPU Minta MK Tolak Gugatan Pilpres yang Diajukan Anies dan Ganjar

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 15 masa pajak Januari sampai dengan Desember 2010 sebesar Rp646.804.628.723 yang tidak dapat dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Perlu dipahami, sengketa ini terjadi karena adanya perbedaan pendapat antara Pemohon PK dan Termohon PK dalam menentukan status badan hukum dari Termohon PK.

Menurut Pemohon PK, Termohon PK merupakan BUT dari X Co yang berkedudukan di Jepang. Pendapat Pemohon PK tersebut dibuktikan dengan ditemukannya fakta Termohon PK terdaftar pada KPP badan dan orang asing sejak 10 Juni 2002. Selama berada di Indonesia, Termohon PK juga telah melakukan kewajiban perpajakan PPh Pasal 21, PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26.

Baca Juga:
Ganjar: Pilpres 2024 Diwarnai Kecurangan dan Penyalahgunaan Kekuasaan

Selain itu, Termohon PK telah memenuhi beberapa kriteria sebagai BUT sesuai Pasal 5 ayat (1) OECD Model. Pertama, adanya tempat usaha (place of business test). Kedua, tempat usaha tersebut didirikan di suatu lokasi tertentu (location test). Dalam hal ini, Termohon PK terbukti mempunyai tempat usaha di Cilincing, Jakarta Utara.

Ketiga, subjek pajak mempunyai hak untuk memanfaatkan tempat usaha tersebut (right use test). Termohon PK dapat dipastikan mempunyai hak untuk memanfaatkan tempat usahanya karena telah membayar sewa dan menyetorkan PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang atas sewa di lokasi tersebut.

Keempat, penggunaan tempat usaha tersebut harus bersifat permanen atau dalam waktu yang melebihi periode waktu tertentu (permanent test). Hal ini terbukti dari aktivitas Termohon PK yang tidak bersifat sementara dan dilakukan terus menerus. Dengan kata lain, Termohon PK meggunakan tempat usahanya secara permanen atau dalam waktu tertentu.

Baca Juga:
Sidang Hasil Pilpres Digelar MK Mulai Besok, Diputus Pada 22 April

Kelima, kegiatan yang dilakukan Termohon PK melalui tempat usaha tersebut merupakan kegiatan usaha berupa promosi produk (business activity test). Kegiatan mempromosikan produk bukanlah aktivitas penunjang dan tidak bersifat sementara. Kegiatan promosi yang Termohon PK lakukan selama 2010 telah mendatangkan manfaat. Hal ini terbukti dengan adanya kegiatan ekspor X Co selaku induk perusahaan ke Indonesia.

Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Menurut Termohon PK, pihaknya bukan merupakan BUT dari X Co. Sebab, Termohon PK hanya menjalankan usaha bersifat penunjang dan persiapan.

Merujuk pada Pasal 5 ayat (4) huruf e P3B antara Indonesia dan Jepang, yang dikecualikan dari pengertian BUT adalah kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang untuk kepentingan perusahaan. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak sesuai fakta dan peraturan yang berlaku sehingga harus ditolak.

Baca Juga:
KPU Siapkan Advokat Hadapi Gugatan Sengketa Pemilu 2024 di MK

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar. Terdapat dua pendapat Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 15 masa pajak Januari sampai dengan Desember 2010 sebesar Rp646.804.628.723 yang tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, Mahkamah Agung berpendapat kegiatan Termohon PK terbukti hanya berupa riset pemasaran dan tidak melakukan promosi produk. Dengan begitu, tidak tepat apabila Termohon PK dikategorikan sebagai BUT dari X Co. Koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak sesuai fakta dan peraturan yang berlaku.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (kaw)

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 29 Maret 2024 | 10:00 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Koreksi DPP PPN atas Jasa Pengangkutan Pupuk

BERITA PILIHAN
Jumat, 29 Maret 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Beli Rumah Sangat Mewah di KEK Pariwisata Bebas PPh, Perlu SKB?

Jumat, 29 Maret 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jumlah Pemudik Melonjak Tahun ini, Jokowi Minta Warga Mudik Lebih Awal

Jumat, 29 Maret 2024 | 14:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Pengajuan Perubahan Kode KLU Wajib Pajak Bisa Online, Begini Caranya

Jumat, 29 Maret 2024 | 13:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu Pajak Air Tanah dalam UU HKPD?

Jumat, 29 Maret 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Perlakuan PPh atas Imbalan Sehubungan Pencapaian Syarat Tertentu

Jumat, 29 Maret 2024 | 10:30 WIB PERMENKOP UKM 2/2024

Disusun, Pedoman Soal Jasa Akuntan Publik dan KAP dalam Audit Koperasi