JAKARTA, DDTCNews - Badan hukum bernama PT Arion Indonesia mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 78 Undang-Undang No. 14/2002 tentang Pengadilan Pajak ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Salah satu kuasa hukum dari PT Arion Indonesia, yaitu Kahfi Permana, mengaku telah dirugikan oleh putusan yang ditetapkan oleh hakim pajak berdasarkan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak. Dalam pasal dimaksud mengatur bahwa putusan Pengadilan pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta keyakinan hakim.
"Dalam perkara a quo, pemohon mengalami kerugian konkret, spesifik, dan aktual sebagai badan hukum privat akibat penerapan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak yang dilaksanakan secara prematur sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-007055.99/2024/PP/M.XIVA Tahun 2025 tertanggal 19 November 2025," ujar Kahfi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK pada hari ini, Selasa (16/12/2025).
Menurut Kahfi, bukti-bukti yang disampaikan oleh PT Arion Indonesia selaku pemohon banding tidak dipertimbangkan secara transparan oleh Pengadilan Pajak.
Kahfi memandang masalah pada Pasal 78 UU Pengadilan Pajak tidak terletak pada kewenangan hakim untuk meyakini suatu putusan, tetapi terletak pada tidak adanya batas terkait penggunaan keyakinan hakim dalam memutus perkara.
"Pasal 78 UU Pengadilan Pajak tidak mengatur kewajiban hakim untuk menuangkan seluruh alat bukti dalam putusan, menilai alat bukti satu per satu, dan tidak mengatur batas penggunaan keyakinan hakim. Akibatnya, norma ini bersifat kabur dan multitafsir," ujarnya.
Kondisi itu juga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 78 UU Pengadilan Pajak juga bertentangan dengan Pasal 69 ayat (1) UU Pengadilan Pajak yang telah menetapkan alat bukti secara limitatif, yakni:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan para saksi;
d. pengakuan para pihak; dan/atau
e. pengetahuan hakim.
Kahfi menuturkan alat bukti pada huruf a hingga d tersebut merupakan bukti primer, sedangkan alat bukti pada huruf e merupakan bukti subsider.
Masalahnya, Pasal 78 tidak mewajibkan hakim untuk menilai alat bukti pada huruf a sampai dengan d sebelum menggunakan alat bukti huruf e. Hal ini membuka ruang bagi hakim untuk menggunakan keyakinannya secara prematur.
"Permohonan ini tidak dimaksudkan untuk menghilangkan kewenangan hakim, melainkan menegakkan konstitusi agar kewenangan tersebut dijalankan dalam koridor negara hukum," ujar Kahfi.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak inkonstitusional bersyarat sepanjang frasa 'hasil penilaian pembuktian' dan 'keyakinan hakim' tidak dimaknai 'kewajiban menuangkan seluruh alat bukti dalam putusan', 'kewajiban menilai dan memberikan pertimbangan hukum satu per satu alat bukti', serta 'batasan penggunaan keyakinan hakim'.
Selain itu, pemohon juga menyertakan petitum alternatif. Dalam petitum alternatif dimaksud, pemohon meminta MK untuk menyatakan UU Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dengan diundangkannya UU Pengadilan Pajak yang baru.
Pembentuk undang-undang pun diminta untuk membuat UU Pengadilan Pajak baru dalam waktu maksimal 3 tahun sejak putusan diucapkan. (rig)
