RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai perbedaan penggunaan landasan hukum dalam pemungutan pajak kendaraan bermotor (PKB) berupa alat-alat berat bagi wajib pajak yang terikat kontrak karya.
Perlu diketahui bahwa wajib pajak beroperasi di Indonesia berdasarkan kontrak karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dengan wajib pajak.
Wajib pajak berpendapat bahwa dasar hukum pemungutan PKB atas alat-alat berat ialah kontrak karya. Alasannya, kontrak karya bersifat lex specialis dari Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi daerah (UU PDRD). Dengan begitu, sepanjang kontrak karya masih berlaku, pemungutan PKB atas alat berat merujuk pada perjanjian tersebut
Sebaliknya, otoritas pajak menilai bahwa dasar hukum pemungutan PKB atas alat berat merujuk pada UU PDRD. Doktrin hukum lex specialis derogate legi generali hanya dapat diberlakukan terhadap produk hukum yang sama dan substansi masalah yang diatur juga sama.
Dalam perkara ini, kontrak karya dan UU PDRD merupakan dua produk hukum yang berbeda. Selain itu, ketentuan dalam kontrak karya seharusnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.
Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa doktrin hukum lex specialis derogate legi generali hanya dapat diberlakukan dalam konteks produk hukum dan substansi masalah yang diatur merupakan hal yang sama.
Sementara itu, kontrak karya dan UU PDRD merupakan dua produk hukum yang berbeda. Oleh karena itu, pemungutan pajak kendaraan bermotor atas alat-alat berat harus tunduk pada UU PDRD.
Hal-hal yang disepakati dalam kontrak karya dinilai tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Dengan demikian, dalil yang disampaikan wajib pajak tidak mempunyai dasar yang kuat sehingga pemungutan PKB atas alat berat seharusnya merujuk pada UU PDRD.
Atas permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. Put.48508/PP/M.XII/04/2013 tertanggal 28 November 2013, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 12 Maret 2014.
Pokok sengketa perkara a quo adalah perbedaan penggunaan landasan hukum dalam pemungutan PKB berupa alat-alat berat bagi wajib pajak yang terikat kontrak karya.
Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Menurutnya, pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah keliru dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi perusahaan yang terikat kontrak karya.
Pemohon PK menyatakan bahwa pemungutan PKB atas alat-alat berat yang dimilikinya seharusnya berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam kontrak karya. Sebab, perihal pemungutan pajak telah diatur secara spesifik dalam kontrak karya.
Dalam Pasal 13 ayat (11) kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dengan Pemohon PK disebutkan bahwa pemungutan pajak yang diatur dalam kontrak karya sudah disetujui oleh pemerintah pusat.
Kemudian, apabila merujuk pada UU Mineral dan Batubara, ketentuan yang tertuang dalam kontrak karya tetap mengikat dan berlaku bagi para pihak sampai perjanjian tersebut berakhir. Dengan demikian, ketentuan yang telah diatur dalam kontrak karya sepatutnya dihormati dan dijalankan, baik oleh perusahaan, pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan bahwa ketentuan pemungutan pajak kendaraan bermotor alat-alat berat seharusnya berdasarkan UU PDRD. Termohon menilai bahwa kontrak karya tidak dapat dinyatakan sebagai lex specialis. Sebab, doktrin hukum lex specialis derogate legi generali hanya dapat diberlakukan terhadap produk hukum yang sama dan substansi masalah yang diatur juga sama.
Lebih lanjut, apabila ditinjau dari penggolongan hukum, kontrak karya termasuk hukum privat yang mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. Sementara itu, UU PDRD merupakan hukum publik. Apabila terjadi konflik antara hukum privat dengan hukum publik maka yang dimenangkan adalah hukum publik. Termohon PK berdalil bahwa kepentingan umum harus diprioritaskan dibandingkan kepentingan pribadi.
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, salah satu syarat sahnya perjanjian ialah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, pemungutan pajak kendaraan bermotor atas alat berat wajib tunduk pada UU PDRD.
Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan yang disampaikan Pemohon PK dalam persidangan dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak No. Put.48508/PP/M.XII/04/2013 tertanggal 28 November 2013 telah keliru dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Terdapat beberapa pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, kontrak karya ialah perjanjian yang dilakukan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemohon PK. Perjanjian tersebut tidak hanya mengikat bagi pemerintah pusat saja, melainkan mengikat pemerintah daerah juga. Ketentuan yang tertuang dalam kontrak karya tersebut merupakan lex specialis dari ketentuan lainnya.
Kedua, selama kontrak karya masih berlaku maka pemungutan PKB atas alat berat merujuk pada perjanjian tersebut. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Termohon PK telah keliru sehingga harus dibatalkan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim Agung menyatakan mengabulkan permohonan PK. Dengan demikian, Termohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.Â