Ilustrasi.
RESUME Putusan Peninjauan Kembali ini merangkum sengketa pajak mengenai perbedaan perhitungan bea keluar yang harus dibayar oleh wajib pajak.
Otoritas kepabeanan melakukan perhitungan kembali jumlah pembayaran bea keluar yang masih kurang dibayar oleh wajib pajak. Perhitungan kembali tersebut berasal dari pembelian barang untuk stock gudang.
Sebaliknya, wajib pajak menyatakan bahwa seharusnya barang yang dikenakan bea keluarnya ialah barang yang sudah ada dalam pemberitahuan ekspor barang (PEB). Sedangkan yang diperhitungkan oleh otoritas kepabeanan adalah barang stock gudang yang belum terdata dalam dokumen PEB.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Kemudian, pada tingkat PK, Mahkamah Agung kembali menolak Permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas kepabeanan. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa penetapan kembali bea keluar yang telah dilakukan oleh otoritas kepabeanan sudah benar dan dapat dipertahankan.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. Put-43497/PP/M.IX/19/2013 tanggal 26 Februari 2013, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 14 Juni 2013.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah adanya perbedaan penetapan bea keluar atas ekspor sebesar Rp760.924.000 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
PEMOHON PK selaku wajib pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Untuk diketahui, sengketa ini berkaitan dengan penetapan kembali perhitungan bea keluar yang masih masih kurang dibayar oleh Pemohon PK.
Dalam perkara ini, Termohon PK melakukan penghitungan ulang atas besaran bea keluar yang harus dibayarkan Pemohon PK. Menurut Pemohon PK, tidak ada bea keluar yang masih kurang bayar atas barang stock gudang yang dilakukan perhitungan kembali oleh Termohon PK.
Pemohon PK berpendapat bahwa barang yang seharusnya dikenakan bea keluarnya ialah barang ekspor yang sudah tercantum dalam dokumen PEB. Namun, pada faktanya, Termohon PK melakukan perhitungan kembali atas barang stock gudang yang belum masuk dalam PEB.
Pada tahap pemeriksaan, Pemohon PK telah menyampaikan bahwa pembelian barang stock gudang tersebut merupakan barang yang belum diolah dan masih akan melalui proses pengeringan dan pengayakan.
Nantinya, barang stock gudang tersebut akan diproses lebih lanjut yang menyebabkan adanya penyusutan. Selain itu, menurut Pemohon PK, atas barang stock gudang tersebut seringkali terdapat barang titipan yang belum memiliki harga pasti yang disepakati dengan pihak lain. Dengan demikian, seharusnya barang tersebut tidak terutang bea keluar.
Selain itu, Pemohon PK menemukan adanya perbedaan perhitungan pada daftar temuan sementara (DTS) dan laporan hasil audit (LHA) jika dibandingkan dengan surat keputusan direktur jenderal bea cukai. Adanya perbedaan dan kekeliruan tersebut dapat diartikan bahwa surat keputusan yang dimaksud cacat hukum. Oleh sebab itu, perhitungan kembali yang dilakukan oleh Termohon PK harus dibatalkan.
Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju dengan pernyataan Pemohon PK. Termohon PK menyatakan bahwa masih terdapat barang ekspor yang belum dibayarkan bea keluarnya. Barang ekspor tersebut berupa barang stock gudang yang sebagian belum dibayarkan bea keluarnya.
Kemudian, menurut Termohon PK, pengajuan banding yang dilakukan oleh Pemohon PK tidak dapat diterima karena melewati jangka waktu pengajuan banding yang telah ditetapkan. Dengan demikian, Termohon PK berkesimpulan bahwa alasan-alasan yang disebutkan oleh Pemohon PK tidak dapat diterima sehingga harus ditolak.
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding sudah tepat dan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Setidaknya, terdapat 3 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan permohonan PK atas penetapan kembali bea keluar yang masih harus dibayar sebesar Rp760.924.000 yang tidak disetujui Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan.
Kedua, menurut Majelis Hakim Agung, pengajuan banding yang dilakukan oleh Pemohon PK sebelumnya melampaui tenggat waktu yang telah ditetapkan. Selain itu, penandatangan banding dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kewenangan hukum.
Merujuk pada uraian di atas, Mahkamah Agung menilai bahwa tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (sap)