JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) mengungkapkan Indonesia bakal menjadikan rumusan substance-based tax incentive dari OECD sebagai panduan dalam menentukan bentuk insentif pajak ke depan. Topik tersebut menjadi salah satu pembahasan utama media nasional pada hari ini, Kamis (4/12/2025).
Analis Pajak Internasional DJSEF Melani Dwi Astuti mengatakan saat ini OECD masih membahas perlakuan khusus atas substance-based tax incentive dalam rezim pajak minimum global.
"Indonesia belum memublikasikan insentif pajak karena kita masih menunggu finalisasi terkait insentif pada akhir tahun ini. Indonesia berharap OECD segera menerbitkan agar kita bisa menetapkan desain baru insentif kita," ujar Melani.
Melani menerangkan munculnya perlakuan khusus atas substance-based tax incentive dilatarbelakangi oleh adanya permintaan dari Amerika Serikat (AS) yang telah disepakati oleh G-7.
Secara terperinci, G-7 telah bersepakat untuk memperlakukan substance-based non-refundable tax credit layaknya refundable tax credit.
"AS dan G-7 meminta agar substance-based non-refundable tax credit mendapatkan perlakuan yang serupa dengan qualified refundable tax credit (QRTC)," ujar Melani.
QRTC adalah kredit pajak yang dapat dikembalikan yang mekanismenya dilakukan dalam bentuk kas atau setara kas dalam jangka waktu 4 tahun sejak entitas konstituen memenuhi syarat untuk menerima kredit berdasarkan ketentuan di yurisdiksi yang memberikan kredit tersebut.
Berbeda dengan insentif pajak selain QRTC yang diperlakukan sebagai pengurang pajak tercakup, QRTC justru diperlakukan sebagai penambah laba GloBE. Dengan demikian, pemanfaatan QRTC bisa menekan jumlah pajak yang harus dibayar tanpa memunculkan beban pajak tambahan yang signifikan.
Menurut Melani, substance-based tax incentive adalah insentif pajak yang diberikan berdasarkan substansi atau aktivitas ekonomi riil pada suatu negara.
Substansi ekonomi pada suatu negara direpresentasikan oleh beragam hal, seperti jumlah pegawai, biaya gaji, aktiva tetap, atau kegiatan produksi.
"Insentif yang diberikan berdasarkan substansi-substansi ini akan mendapatkan perlakuan khusus dalam GloBE rules. Insentif ini masih didiskusikan oleh OECD," ujar Melani.
Sebelumnya, Dirjen Pajak Bimo Wijayanto juga menyebut pemerintah perlu menyiapkan insentif pajak yang memenuhi kriteria sebagai QRTC. Insentif alternatif dalam bentuk selain tax holiday diperlukan agar Indonesia bisa meningkatkan daya saing dalam menarik investasi dari luar negeri.
Menurutnya, kehadiran pajak minimum global berpotensi menihilkan efektivitas dari insentif pajak yang selama ini diterapkan oleh pemerintah, utamanya tax holiday atas industri pionir.
"Pajak minimum global cenderung menggeser bentuk kompetisi insentif pajak korporasi dari tax holiday menjadi refundable tax credit," ujar Bimo.
Selain topik tersebut, terdapat ulasan tentang Ditjen Pajak (DJP) yang kembali menunjuk perusahaan digital asing untuk menjadi pemungut PPN perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Setelahnya, ada pembahasan soal komitmen Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) untuk berbenah diri.
Adanya perlakuan khusus atas QRTC dalam ketentuan pajak minimum global hanya akan mengubah kompetisi pajak antaryurisdiksi dari satu bentuk ke bentuk yang lain.
Partner of DDTC Consulting Yusuf Wangko Ngantung mengatakan QRTC dan insentif pajak lainnya sama-sama mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Meski demikian, dampak QRTC terhadap penghitungan tarif pajak efektif sangatlah berbeda dibandingkan dengan insentif pajak lainnya.
"Dengan QRTC, tarif pajak minimum berpotensi masih di atas 15%. Ada batasan yang cukup arbitrary untuk menentukan apakah suatu insentif pajak dianggap sebagai pengurang pajak atau sebagai tambahan pendapatan. Batasan yang arbitrary dimaksud adalah QRTC," ujar Yusuf. (DDTCNews)
Pemerintah masih mempertimbangkan untuk mengadopsi ketentuan perpajakan dalam Amount B Pilar 1 yang telah disepakati oleh Inclusive Framework.
Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama mengatakan Amount B sudah dimasukkan dalam OECD Transfer Pricing Guidelines sebagai lampiran dari bab IV.
"Sedang dipertimbangkan. Kami melihat ada beberapa keuntungan jika Indonesia memilih mengadopsi Amount B," katanya. (DDTCNews)
DJP kembali menunjuk perusahaan digital asing sebagai pemungut PPN PMSE.
Perusahaan yang ditunjuk menjadi pemungut PPN PMSE pada Oktober 2025 yakni Notion Labs, Inc., Roblox Corporation, Mixpanel, Inc., MEGA Privacy Kft, dan Scorpios Tech FZE. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga melakukan 1 pencabutan data pemungut PPN PMSE, yakni Amazon Services Europe S.a.r.l.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Rosmauli menyebut realisasi PPN PMSE hingga Oktober 2025 senilai Rp8,54 triliun. (Tempo, CNBC Indonesia)
DJP telah menjatuhkan hukuman disiplin berat kepada pegawai yang terbukti melakukan pelanggaran, mulai dari demosi hingga pemecatan pegawai negeri sipil (PNS).
Pada 2024, DJP menerbitkan sebanyak 45 putusan hukuman disiplin berat kepada PNS. Dari jumlah tersebut, DJP menerbitkan 39 putusan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS alias pemecatan.
"Tingkat/jenis hukuman disiplin: pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS' [sebanyak] 39," bunyi Laporan Tahunan DJP 2024. (DDTCNews)
Dirjen Bea dan Cukai Djaka Budhi Utama menegaskan komitmennya untuk memperbaiki kinerja Ditjen Bea dan Cukai (DJBC).
Komitmen itu disampaikan sebagai tanggapan terkait dengan ultimatum pembekuan instansinya apabila tidak berbenah dan memiliki citra buruk di mata masyarakat. Menurutnya, ultimatum dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tersebut merupakan bentuk koreksi terhadap DJBC.
"Apa yang menjadi sejarah kelam tahun 1985-1995 itu, kita tidak ingin itu terjadi ataupun ulangi oleh Bea Cukai, sehingga tentu Bea Cukai harus berbenah diri," katanya. (DDTCNews, Kompas, Kontan) (dik)
