BERITA PAJAK HARI INI

Siap-Siap! Aturan PPh Final untuk UMKM Dirombak

Redaksi DDTCNews
Selasa, 18 November 2025 | 07.30 WIB
Siap-Siap! Aturan PPh Final untuk UMKM Dirombak
<p>Ilustrasi.</p>

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah segera merombak ketentuan PPh final 0,5% bagi pelaku UMKM. Perubahan aturan ini akan dituangkan dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan utama media nasional pada hari ini, Selasa (18/11/2025).

Perubahan kebijakan soal PPh final UMKM dilatarbelakangi temuan praktik manipulasi omzet dan pemecahan usaha oleh pelaku UMKM demi memanfaatkan tarif PPh final 0,5%. Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan temuan adanya tax planning oleh pelaku UMKM itu tidak sejalan dengan semangat kebijakan yang disusun.

"Wajib pajak bisa melakukan praktik bunching [menahan omzet] dan firm-splitting [memecah usaha] melalui wajib pajak badan. Sehingga kita perlu dasar aturan yang jelas sebagai sarana anti-penghindaran pajak," kata Bimo.

Guna menampung ketentuan tersebut, DJP mengusulkan adanya perubahan Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) PP 55/2025 yang mengatur ulang subjek PPh final 0,5% atas wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (WP PBT) dengan mengecualikan wajib pajak yang berpotensi digunakan sebagai sarana melakukan penghindaran pajak.

"Latar belakang berikutnya, supaya kebijakan lebih tepat sasaran, kami temukan masih banyak WP yang memanfaatkan tarif PPh final 0,5% sementara secara ekonomi memiliki agregasi peredaran bruto konsolidasi yang sudah melewati batasan threshold yang dibebaskan," kata Bimo.

Atas temuan tersebut, DJP mengusulkan perubahan pasal 58 PP 55/2025 dengan menyesuaikan penghitungan peredaran bruto sebagai kriteria WP PBT, yakni seluruh peredaran bruto dari usaha dan pekerjaan bebas, baik yang dikenai PPh final dan PPh non-final, termasuk peredaran bruto dari penghasilan di luar negeri.

"Selanjutnya, ada request dari dunia usaha, agar paket kebijakan ekonomi untuk kesejahteraan 2025 tetap mencakup insentif untuk UMKM," kata Bimo.

Terakhir, ujar Bimo, pemerintah ingin memberikan kesempatan kepada wajib pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria. Kesempatan ini diberikan kepada wajib pajak, dalam hal wajib pajak orang pribadi seharusnya berhak, tetapi tidak dapat menggunakan fasilitas PPh final 0,5% karena telah melewati jangka waktu tertentu.

"Kami usulkan perubahan Pasal 59, penghapusan jangka waktu tertentu bagi wajib pajak orang pribadi dan perseroan perorangan yang didirikan satu orang (PT OP)," kata Bimo.

Selain informasi soal PPh final UMKM, ada beberapa bahasan lain yang juga diulas oleh media massa pada hari ini. Di antaranya, potensi kenaikan penerimaan pajak akibat transaksi kripto, pergeseran pendekatan Ditjen Pajak (DJP) terhadap wajib pajak, hingga kabar terkini soal pajak karbon.

Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.

Jangka Waktu PPh Final Dihapus

Masih soal PPh final UMKM, pelaku usaha mendesak pemerintah agar insentif UMKM melalui tarif final 0,5% tetap dilanjutkan.

Menurut Dirjen Pajak, permintaan tersebut diakomodasi dengan memperpanjang pemberlakuan PPh final UMKM hingga 2029. Bahkan, melalui revisi PP 55/2025, pemerintah juga berniat aturan soal jangka waktu penggunaan tarif PPh final.

"Selanjutnya, ada request dari dunia usaha, agar paket kebijakan ekonomi untuk kesejahteraan 2025 tetap mencakup insentif untuk UMKM," kata Bimo. (Koran Kontan, DDTCNews)

Pendekatan Baru DJP kepada Wajib Pajak

DJP berencana untuk mengadopsi pendekatan cooperative compliance guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak guna merespons kompleksnya perekonomian dan meningkatnya transaksi lintas batas yurisdiksi.

Bimo Wijayanto mengatakan konsep kepatuhan pajak selama ini dibangun secara sederhana, yakni jika melanggar maka akan dihukum. Menurutnya. model enforcement tersebut efektif untuk menciptakan kepatuhan dasar.

"Namun, seiring dengan ekonomi yang makin kompleks, transaksi lintas batas yang meningkat, dan model bisnis digital yang bertumbuh, pendekatan konsep sederhana dari tax enforcement tadi menjadi tidak efektif," katanya saat memberikan keynote speech dalam seminar bertajuk Reinventing Tax Compliance: From Enforcement to Cooperative Compliance yang digelar oleh FEB UI dan DDTC. (DDTCNews)

Kripto Kerek Penerimaan Pajak

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksi transaksi aset kripto terus tumbuh sehingga bakal berdampak pada penerimaan pajak dari sektor tersebut.

Kepala Direktorat Perizinan dan Pengendalian Kualitas Pengawasan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK Catur Karyanto Pilih mengatakan nilai transaksi kripto memang fluktuatif. Meski demikian, transaksi kripto pada tahun lalu mulai menunjukan perbaikan.

"Nilai transaksi ini akan ada potensi untuk meningkat. Ini juga dilihat dari sisi perkembangan pajak atas aset keuangan digital, dalam hal ini aset kripto juga cukup tinggi," katanya. (DDTCNews)

Aturan Tarif Bea Keluar Emas

Pemerintah akan menerapkan bea keluar dengan tarif 7,5% hingga 15% untuk 4 jenis komoditas emas, mulai dari emas batangan hingga serbuk (granules) pada tahun fiskal 2026.

Dirjen Strategi Ekonomi Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan peraturan yang mengatur ketentuan teknis pengenaan bea keluar untuk produk emas akan segera terbit. Saat ini, peraturannya sedang dalam proses finalisasi atau pengundangan.

"PMK untuk penetapan bea keluar dari emas sudah dalam proses, hampir titik akhir. Sekarang yang ada dalam RPMK adalah pengenaan bea keluar terhadap dore, granules, cast bars, dan minted bars," katanya dalam RDP dengan Komisi XI DPR. (DDTCNews)

Peta Jalan Pajak Karbon

Ketua Komisi XI Mukhamad Misbakhun mengkritik pemerintah yang tak kunjung menerbitkan PP terkait dengan peta jalan karbon. Sedianya, beleid itu menjadi aturan turunan dari UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Sejatinya, ujar Misbakhun, ketentuan soal pajak karbon dalam UU HPP disusun pada masa berlangsungnya KTT COP 26 di Glasgow pada 2021 lalu. Saat itu, Indonesia akhirnya membuat aturan yang masuk dalam UU HPP tentang mulai diterapkannya pajak dan bursa karbon. Salah satu syaratnya, perlu ada peta jalan pajak karbon di Indonesia.

Kementerian Keuangan dinilai perlu mengklarifikasi terkait dengan hambatan yang membuat peta jalan pajak karbon ini tak kunjung terbit. Mengingat, UU HPP sendiri sudah terbit sejak 4 tahun lalu. (Koran Kontan) (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.