Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Tinggal menghitung hari menuju batas akhir penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU KUP, SPT Tahunan PPh wajib pajak orang pribadi harus disampaikan maksimal 3 bulan setelah akhir tahun pajak.
Artinya, wajib pajak orang pribadi yang menggunakan tahun pajak sama dengan tahun kalender harus menyampaikan SPT Tahunan PPh maksimal pada 31 Maret. Begitu pula dengan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2024 berarti harus disampaikan maksimal pada 31 Maret 2025.
“Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah ... untuk Surat Pemberitahuan Tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak,” bunyi Pasal 3 ayat (3) UU KUP, dikutip pada Selasa (25/3/2025).
Selain SPT Tahunan PPh orang pribadi, nyatanya ada sejumlah kewajiban pajak lain yang juga perlu disampaikan maksimal pada 31 Maret 2025. Sejumlah kewajiban tersebut memang memiliki batas akhir pada 31 Maret, sementara sisanya terkait dengan batas akhir pemberian penghapusan sanksi. Berikut perinciannya.
NPPN adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh dirjen pajak dan disempurnakan terus‐menerus. Norma tersebut berupa persentase yang akan dikalikan dengan penghasilan bruto untuk mendapatkan penghasilan neto. Simak Apa Itu NPPN?
NPPN menjadi alternatif penentuan penghasilan neto hanya dengan mengandalkan pencatatan bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu, yaitu kurang dari Rp4,8 miliar.
Seiring dengan belum terbitnya peraturan baru yang memperpanjang periode pemanfaatan PPh final UMKM, NPPN menjadi opsi yang bisa dipertimbangkan oleh pelaku usaha UMKM. Simak Peralihan PPh Final UMKM Jadi NPPN, Apa yang Perlu Dilakukan?
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Perdirjen Pajak No. PER-17/PJ/2015, wajib pajak yang ingin menggunakan NPPN wajib menyampaikan pemberitahuan. Adapun pemberitahuan penggunaan NPPN tersebut harus disampaikan maksimal 3 bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.
Dengan demikian, apabila wajib pajak orang pribadi menggunakan tahun pajak yang sama dengan tahun kalender maka pemberitahuan penggunaan NPPN tersebut harus disampaikan maksimal pada 31 Maret 2025. Simak Cara Sampaikan Pemberitahuan Penggunaan NPPN Via Coretax DJP.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 171 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024, SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 serta SPT masa PPh Unifikasi harus disampaikan maksimal 20 hari setelah masa pajak berakhir.
Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan, SPT Masa PPh Pasal 21/Pasal 26 serta SPT Masa PPh Unifikasi untuk masa pajak Februari 2025 harus disampaikan paling lambat pada 20 Maret 2025.
Namun, wajib pajak yang melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/Pasal 26 serta SPT Masa PPh Unifikasi untuk masa pajak Februari 2025 lebih dari 20 Maret 2025 tidak akan dikenakan sanksi denda sepanjang dilaporkan maksimal pada 31 Maret 2025.
Sebab, dirjen pajak memberikan penghapusan sanksi atas keterlambatan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/Pasal 26 serta SPT Masa PPh Unifikasi untuk masa pajak Februari 2025 hingga 31 Maret 2025. Penghapusan sanksi keterlambatan pelaporan tersebut sebagaimana diputuskan dalam Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-67/PJ/2025.
Ketentuan serupa juga berlaku untuk pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (PHTB) untuk masa pajak Februari 2025. Wajib pajak yang terlambat melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas PHTB tidak dikenakan sanksi sepanjang dilaporkan maksimal pada 31 Maret 2025.
Dirjen pajak juga memberikan penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pelaproan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (UMKM) dan PPh Pasal 25.
Merujuk KEP-67/PJ/2025, penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) untuk UMKM dan PPh Pasal 25 tersebut diberikan hingga 31 Maret 2025. Simak Hati-Hati! Penghapusan Sanksi Coretax Tidak untuk Semua Masa Pajak.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 171 ayat (18) PMK 81/2024, pemungut bea meterai wajib melaporkan bea meterai yang telah dipungut dengan menggunakan SPT Masa Bea Meterai maksimal 15 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dengan demikian, sedianya SPT Masa Bea Meterai untuk masa pajak Februari 2025 harus disampaikan maksimal pada 15 Maret 2025. Namun, jatuh tempo pelaporan SPT Masa Bea Meterai tersebut mundur ke 17 Maret 2025 karena tanggal 15 Maret hingga 16 Maret 2025 bertepatan dengan hari Sabtu dan Minggu.
Akan tetapi, pemungut bea meterai yang menyampaikan SPT Masa Bea Meterai untuk masa pajak Februari 2025 lewat dari 17 Maret 2025 tidak dikenakan sanksi denda sepanjang dilaporkan maksimal pada 31 Maret 2025 sesuai dengan ketentuan dalam KEP-67/PJ/2025.
Wajib pajak, baik orang pribadi dan badan, dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh). Perpanjangan jangka waktu tersebut diberikan untuk paling lama 2 bulan setelah tenggat waktu penyampaian SPT Tahunan PPh.
Wajib pajak dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu apabila tidak bisa menyampaikan SPT Tahunan PPh sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan karena suatu alasan. Misalnya, karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya.
Perpanjangan ini mensyaratkan adanya laporan keuangan. Untuk itu, biasanya perpanjangan waktu pelaporan SPT ini diajukan oleh wajib pajak orang pribadi pelaku usaha atau pekerja bebas. Untuk mendapat perpanjangan waktu, wajib pajak harus menyampaikan pemberitahuan.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) PMK 243/2014, wajib pajak harus menyampaikan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan PPh sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh berakhir. Dengan demikian, bagi wajib pajak orang pribadi yang menggunakan tahun buku sama dengan tahun kalender maka pemberitahuan tersebut harus disampaikan sebelum 31 Maret 2025.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 370 PMK 81/2024, dividen yang diperoleh wajib pajak orang pribadi bisa dikecualikan dari objek PPh sepanjang diinvestasikan kembali. Investasi tersebut harus memenuhi kriteria bentuk investasi, tata cara investasi, dan jangka waktu investasi. Simak Dividen Diinvestasikan Kembali, Apakah Bebas Pajak?
Selain investasi sesuai dengan ketentuan, wajib pajak orang pribadi juga wajib menyampaikan laporan realisasi investasi. Merujuk pada Pasal 374 PMK 81/2024, laporan realisasi investasi tersebut disampaikan secara berkala paling lambat akhir bulan ketiga. Artinya, batas akhir laporan realisasi tersebut juga jatuh pada 31 Maret. (sap)