Rinaldi Adam Firdaus,
PERKENALKAN, saya Gilang. Saya merupakan pemilik warung makan di Jakarta yang menjual masakan rumahan dan minuman. Saya sudah menggunakan PPh final UMKM dengan tarif 0,5% sejak tahun pajak 2018.
Sepanjang yang saya ketahui, PPh final tersebut hanya berlaku selama 7 tahun pajak atau lebih tepatnya sampai tahun pajak 2024 ini. Sebagai informasi, sampai saat ini omzet warung makan saya dalam 1 tahun masih di bawah Rp4,8 miliar. Selain itu, saya juga belum bisa membuat pembukuan.
Pertanyaan saya, apakah setelah masa berlaku penggunaan PPh final tersebut selesai saya sudah harus melakukan pembukuan? Jika tidak, apakah ada mekanisme lain yang bisa dilakukan untuk permasalahan yang saya hadapi? Terima kasih.
Gilang, Jakarta.
TERIMA kasih atas pertanyaannya, Bapak Gilang. Sebelum menjawab pertanyaan Bapak, perlu dipahami kembali bahwa terdapat ketentuan yang memperbolehkan wajib pajak untuk tidak melakukan pembukuan tetapi tetap harus melakukan pencatatan dengan persyaratan tertentu.
Hal ini sebagaimana di atur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU KUP s.t.d.t.d UU HPP), yang berbunyi:
“Wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan ..., tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto ...”
Ketentuan beleid di atas juga dipertegas kembali dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPh s.t.d.t.d UU HPP), yang berbunyi:
“Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto ..., dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.”
Adapun mekanisme dalam menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) tersebut secara teknis dapat dilakukan dengan menyelenggarakan pencatatan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP. Simak ‘Apa Itu Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)'.
Sesuai dengan uraian beleid di atas, dapat dipahami bahwa Bapak sebagai wajib pajak orang pribadi (WPOP) yang melakukan kegiatan usaha dan memiliki peredaran bruto (omzet) di bawah Rp4,8 miliar diperbolehkan untuk menghitung penghasilan neto menggunakan NPPN dengan menyelenggarakan pencatatan.
Meski demikian, terdapat beberapa hal yang perlu Bapak perhatikan agar dapat menggunakan NPPN dengan menyelenggarakan pencatatan. Pertama, Bapak perlu memberitahu kepada Dirjen Pajak terlebih dahulu dalam jangka waktu 3 bulan pertama pada tahun pajak yang bersangkutan. Simak juga ‘Cara Sampaikan Pemberitahuan Penggunaan NPPN Lewat DJP Online’.
Kedua, terdapat beberapa aspek yang perlu Bapak perhatikan dalam melakukan pencatatan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No. 54/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Melakukan Pencatatan dan Kriteria Tertentu Serta Tata Cara Menyelenggarakan Pembukuan untuk Tujuan Perpajakan (PMK 54/2021).
Beberapa aspek tersebut antara lain, pencatatan:
Ketiga, sebagai WPOP yang menggunakan NPPN, Bapak dapat menghitung penghasilan neto dengan cara mengalikan angka persentase NPPN dengan peredaran bruto dari kegiatan usaha dalam 1 tahun pajak. Setelah itu, besaran penghasilan neto yang diperoleh dapat dikurangi terlebih dahulu dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk memperoleh besaran penghasilan kena pajak (PKP).
Kemudian, besaran pajak penghasilan (PPh) terutang dapat dihitung dengan mengalikan PKP dengan tarif umum berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh s.t.d.t.d UU HPP (tarif umum). Adapun mekanisme penghitungan ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto (PER-17/2015). Simak ‘3 Jenis Penghitungan NPPN untuk Wajib Pajak’.
Dalam konteks warung makan Bapak, angka persentase NPPN yang dimaksud dapat merujuk pada Lampiran I PER-17/2015 nomor 1107 dengan KLU 56102. Adapun besaran persentase NPPN untuk warung makan yang berada di Jakarta berdasarkan Lampiran I PER-17/2015 adalah sebesar 25%.
Artinya, apabila peredaran bruto dari warung makan Bapak selama 1 tahun pajak adalah Rp250 juta maka cara menghitung penghasilan netonya yaitu Rp250 juta x 25% = Rp62,5 juta. Setelah itu, Bapak dapat mengurangi Rp62,5 juta tersebut dengan PTKP terlebih dahulu untuk memperoleh besaran PKP. Kemudian, besaran PPh terutang dapat diperoleh dengan mengalikan PKP dengan tarif umum.
Demikian jawaban yang dapat disampaikan. Semoga membantu.
Sebagai informasi, artikel Konsultasi Pajak hadir setiap pekan untuk menjawab pertanyaan terpilih dari pembaca setia DDTCNews. Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan mengirimkannya ke alamat surat elektronik [email protected]. (sap)