Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan ulang apabila terdapat data baru, termasuk data yang semula belum terutang. Topik ini menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Senin (10/3/2025).
Ketentuan mengenai pemeriksaan ulang ini diatur dalam PMK 15/2025. Pemeriksaan ulang juga dapat dilakukan jika terdapat keterangan tertulis dari wajib pajak atas kehendak sendiri sebelum DJP memulai pemeriksaan untuk penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKBT) sesuai dengan Pasal 15 ayat (3) UU KUP.
"Pemeriksaan ulang adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap wajib pajak yang telah diterbitkan surat ketetapan pajak (SKP) atau surat ketetapan pajak pajak bumi dan bangunan (SKPPBB) dari hasil pemeriksaan sebelumnya untuk jenis pajak dan masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak yang sama," bunyi Pasal 1 angka 41 PMK 15/2025.
Apabila hasil pemeriksaan ulang mengakibatkan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam SKP sebelumnya maka DJP menerbitkan SKPKBT.
Dalam hal pemeriksaan ulang dilakukan atas objek PBB yang sebelumnya telah diterbitkan SKP nihil atau SKPPBB dan hasil pemeriksaan ulang menimbulkan tambahan PBB yang terutang maka DJP akan menerbitkan SKPPBB.
Apabila hasil pemeriksaan ulang tidak mengakibatkan tambahan ketetapan pajak dalam SKP atau SKPPBB sebelumnya maka pemeriksaan ulang dihentikan dengan membuat laporan hasil pemeriksaan (LHP) sumir. DJP harus menyampaikan pemberitahuan terkait penghentian pemeriksaan ulang kepada wajib pajak.
"LHP sumir adalah laporan yang berisi penghentian pemeriksaan tanpa adanya usulan penerbitan SKP atau SKPPBB," bunyi Pasal 1 angka 39 PMK 15/2025.
Dalam hal pemeriksaan ulang tidak menimbulkan tambahan ketetapan pajak tetapi mengubah jumlah rugi fiskal, DJP bakal menerbitkan keputusan mengenai rugi fiskal. Keputusan ini akan menjadi dasar untuk menghitung rugi fiskal tahun pajak berikutnya.
Selain bahasan mengenai pemeriksaan ulang, ada pula topik lain yang juga menjadi sorotan media massa pada hari ini. Di antaranya, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri yang makin nyata, panduan DJP mengenai PPh dan PPN atas komisi reasuransi, hingga imbauan bagi DJP agar melakukan reorganisasinya.
PMK 15/2025 juga mengatur mengenai penghitungan penghasilan kena pajak secara jabatan. Pemeriksa tidak bisa serta merta melakukan penghitungan penghasilan kena pajak secara jabatan terhadap wajib pajak yang diperiksa.
Sebelum dilakukan penghitungan penghasilan kena pajak secara jabatan, pemeriksa harus membuktikan bahwa wajib pajak tidak atau kurang menyampaikan buku, catatan, dan/atau dokumen yang diminta.
"Dalam hal pemeriksa pajak menghitung penghasilan kena pajak secara jabatan, pemeriksa pajak melakukan pembuktian bahwa wajib pajak tidak atau kurang menyampaikan buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data elektronik, serta keterangan lain yang diminta," bunyi Pasal 13 PMK 15/2025. (DDTCNews)
Gelombang PHK terus terjadi. Yang terbaru, PT Adis Dimension Footwear dan PT Victory Ching Luh Indonesia menutup pabriknya di Tangerang Selatan, Banten. Hal ini berdampak terhadap 3.500 karyawan.
Kabarnya, perusahaan terpaksa menutup pabrik guna bisa mempertimbangkan pemindahan lokasi ke wilayah dengan UMK lebih rendah.
Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko menyampaikan perusahaan memang mulai mempertimbangkan relokasi pabrik guna bisa meningkatkan nilai keekonomian usaha. Misalnya, 2 pabrik di atas melirik Majalengka dan Cirebon sebagai lokasi baru. (Harian Kompas)
Rasio utang pemerintah diprediksi tembus 40% terhadap PDB pada 2025. Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu mencatat total utang pemerintah pusat pada 31 Januari 2025 mencapai angka Rp8.909,14 triliun.
Mengacu pada data BPS, dengan PDB nasional pada 2024 senilai Rp22.139 triliun, maka rasio utang pada Januari 2025 sudah menembus 40,2% PDB. RPJMN 2025-2029 juga mematok rasio utang senilai 39,01% hingga 39,10% pada 2029.
Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Badiul Hadi menyampaikan tingginya utang berisiko mempersempti ruang fiskal, fleksibilitas pengelolaan keuangan negara, dan kualitas layanan publik. Pemerintah diimbau menyusun strategi pengelolaan utang jangka menengah mengacu pada kerangka kebijakan anggaran dan makroekonomi. (Kontan)
DJP mengingatkan wajib pajak untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2024.
DJP menyatakan batas akhir penyampaian SPT Tahunan orang pribadi akan jatuh pada 31 Maret 2025 atau bertepatan dengan Hari Raya Idulfitri. Wajib pajak pun diimbau segera menyampaikan SPT Tahunan sehingga bisa mudik lebih nyaman.
"Lapor sekarang di http://djponline.pajak.go.id dan nikmati perjalanan lebih nyaman," tulis DJP. (DDTCNews)
Dewan Ekonomi Nasional (DEN) menyarankan DJP melanjutkan reorganisasi instansi vertikal untuk memperkuat pengawasan wajib pajak.
Anggota DEN Chatib Basri mengatakan reorganisasi DJP antara lain dilaksanakan dengan kembali menambah jumlah kantor pelayanan pajak (KPP) madya. Menurutnya, penambahan KPP madya akan membuat pengawasan terhadap wajib pajak menjadi lebih optimal.
"Mereka sudah mulai menambah KPP madya [menjadi] sekitar 38, tetapi ini harus ditambah terus," katanya dalam Podcast Endgame. (DDTCNews)
Dirjen Pajak Suryo Utomo merilis surat edaran yang menjadi acuan pelaksanaan ketentuan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) atas komisi reasuransi.
Surat edaran yang dimaksud ialah Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-1/PJ/2025. Surat edaran itu dimaksudkan sebagai acuan bagi unit kerja di lingkungan DJP agar perlakuan PPh dan PPn atas komisi reasuransi lebih dapat dipahami dan diterapkan secara seragam.
“Surat edaran dirjen pajak ini bertujuan untuk memberikan kejelasan dan keseragaman pemahaman mengenai perlakuan PPh dan PPN atas komisi reasuransi yang diterima atau diperoleh perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi,” bunyi bagian tujuan SE-1/PJ/2025. (DDTCNews) (sap)