Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Tidak digunakannya lagi NPWP cabang diharapkan berdampak pada pengawasan kepatuhan pajak oleh Ditjen Pajak (DJP) yang makin efektif dan efisien. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (27/6/2024).
Sesuai dengan PMK 112/2022 s.t.d.d PMK 136/2023, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) cabang hanya digunakan sampai dengan akhir bulan ini. Artinya, terhitung mulai 1 Juli 2024, cabang akan menggunakan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU).
“Dengan demikian, ke depan tidak lagi dikenal adanya NPWP cabang. Namun, sebagai identitas untuk mengidentifikasi unit dan alamat yang berbeda dengan NPWP pusat diberikan NITKU,” tulis DJP dalam laman resminya.
Nantinya hanya terdapat 1 NPWP untuk entitas pusat. Menurut DJP, manfaat utama dari penggunaan 1 nomor identitas perpajakan bagi 1 entitas (pusat dan cabang-cabangnya) berupa penyederhanaan administrasi perpajakan.
Hal ini dikarenakan walaupun 1 entitas usaha memiliki puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan cabang, semuanya menjalankan administrasi perpajakan menggunakan 1 nomor identitas yang sama. Baca artikel-artikel tentang NITKU di sini.
Selain mengenai NPWP format baru dan NITKU, ada pula ulasan terkait dengan penerapan secara penuh (mandatory) CEISA 4.0 tahap ke-11 oleh Ditjen Bea dan Cukai. Kemudian, ada bahasan tentang multilateral instrument.
Berikut ulasan berita perpajakan selengkapnya.
Penggunaan 1 NPWP untuk entitas pusat membuat data wajib pajak juga dapat terintegrasi. Hal ini dinilai akan memudahkan wajib pajak melakukan konsolidasi atau melaporkan SPT Tahunan. Adanya 1 nomor yang mengintegrasikan semua pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan, yakni 1 NPWP.
“Selain memudahkan wajib pajak melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya, pengawasan kepatuhan oleh DJP pun diharapkan akan menjadi lebih efisien dan efektif,” tulis DJP dalam laman resminya. (DDTCNews)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan waktu implementasi penuh Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP masih mengacu pada PMK 136/2023. Artinya, implementasi penuh NIK sebagai NPWP akan dimulai pada 1 Juli 2024.
“Kebijakan implementasi NIK sebagai NPWP masih sesuai dengan jangka waktu yang tertuang pada PMK 136/2023," katanya. Simak pula ‘Begini Ketentuan NIK yang Dipakai Jadi NPWP Wajib Pajak Orang Pribadi’. (DDTCNews)
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menerbitkan KEP-105/BC/2024 terkait dengan penerapan secara penuh (mandatory) CEISA 4.0 tahap ke-11. Penerapan di sejumlah kantor pelayanan utama bea dan cukai (KPUBC) dan kantor pengawasan dan pelayanan bea dan cukai (KPPBC).
Penerapan mandatory CEISA 4.0 ini berlaku untuk layanan ekspor, impor, manifes, dan laboratorium. CEISA 4.0 akan diterapkan secara penuh pada berbagai layanan, seperti layanan impor, layanan ekspor, layanan tempat penimbunan berikat (TPB). (DDTCNews)
Pemerintah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) 77/2019 yang mengatur terkait dengan multilateral instrument (MLI). Revisi dilakukan melalui Perpres 63/2024 yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 13 Juni 2024.
Perpres 63/2024 tersebut mengubah daftar reservation dan notifikasi. Merujuk pada lampiran tersebut, Indonesia tetap mencantumkan 47 persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) Indonesia dengan berbagai yurisdiksi mitra sebagai covered tax agreement (CTA).
Namun, Indonesia menyatakan ingin memperluas CTA dari 47 menjadi 60. Notifikasi terkait dengan perluasan CTA telah diterima dan dikomunikasikan oleh Indonesia kepada OECD selaku depositary pada November 2023. Simak ‘Presiden Jokowi Revisi Perpres terkait Multilateral Instrument’. (DDTCNews)
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mencatat tax ratio Indonesia pada 2022 mampu mencapai 12,1%, lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar 10,9%.
Meski naik, tax ratio Indonesia cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata tax ratio di Asia Pasifik. Tax ratio Indonesia hanya lebih tinggi bila dibandingkan dengan Bhutan (11,3%), Laos (10,3%), Pakistan (10%), Bangladesh (7,5%), dan Sri Lanka (7,4%).
"Tax ratio Indonesia adalah sebesar 12,1% pada 2022, di bawah rata-rata 36 negara Asia Pasifik yang sebesar 19,3%. Tax ratio Indonesia juga lebih rendah 22 poin persentase bila dibandingkan dengan rata-rata OECD (34%)," tulis OECD dalam Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2024. (DDTCNews/Bisnis Indonesia) (kaw)