Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah berkomitmen untuk memperluas basis perpajakan. Salah satu strategi yang sudah disiapkan adalah implementasi pengawasan berbasis kewilayahan dengan memperkuat unit vertikal Ditjen Pajak (DJP). Topik ini menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (10/6/2024).
Penguatan basis perpajakan dilakukan, antara lain, melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Karenanya, peran unit vertikal, termasuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama dan Madya, menjadi sangat krusial. Unit vertikal DJP di daerah itu menjadi ujung tombak dalam mengumpulkan penerimaan pajak.
"Peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui penerapan pengawasan potensi perpajakan berbasis kewilayahan, dengan mengimplementasikan reformasi administrasi dan memperkuat kantor-kantor pajak, terutama pada level madya dan pratama terus dilakukan," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Dalam Rencana Strategis DJP 2020-2024, peran KPP Pratama saat ini difokuskan untuk melakukan pengawasan kepatuhan wajib pajak secara kewilayahan. Dengan reorganisasi instansi vertikal, KPP Wajib Pajak Besar, KPP Khusus, dan KPP Madya yang mengambil peran besar dalam penerimaan.
Konsekuensi dari peran KPP Pratama yang berfokus untuk menjalankan pengawasan berbasis kewilayahan yakni tidak ada lagi seksi ekstensifikasi dan penyuluhan pada KPP Pratama. Tugas untuk melakukan ekstensifikasi dilakukan seksi pengawasan II—VI pada setiap KPP Pratama.
Pada 2025, rasio perpajakan (tax ratio) ditargetkan sebesar 10,09% hingga 10,29% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Selain bahasan mengenai perluasan basis pajak di atas, ada pula pemberitaan mengenai rencana implementasi coretax administration system, upaya pemerintah dalam mengerek pendapatan negara, penerapan automatic blocking system (ABS), hingga persiapan konsensus pajak global.
Belum lama ini, Dirjen Pajak Suryo Utomo menyatakan DJP juga membuka ruang untuk kembali melaksanakan reorganisasi instansi vertikal. Reorganisasi instansi vertikal ini dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Reorganisasi instansi vertikal dilakukan sesuai dengan kebutuhan DJP antara lain mempertimbangkan upaya menjangkau wajib pajak, upaya memberikan pelayanan kepada wajib pajak, serta upaya mengoptimalkan penerimaan negara. DJP pun telah beberapa kali melaksanakan reorganisasi instansi vertikal.
Reorganisasi terakhir kali dilakukan dengan menambah jumlah kantor pelayanan pajak (KPP) madya melalui penerbitan PMK 184/2020. Saat ini, DJP memiliki 352 KPP yang terdiri atas 4 KPP Wajib Pajak Besar, 9 KPP Khusus, 38 KPP Madya, dan 301 KPP Pratama. (DDTCNews)
Kemampuan untuk menjalankan metode interaktif pengumpulan data menjadi salah satu outcome proyek pembaruan sistem administrasi perpajakan (SIAP) atau coretax administration system (CTAS).
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi mengatakan pemanfaatan teknologi dalam sistem administrasi perpajakan memungkinkan adanya pengumpulan data lebih baik.
“Jadi, outcome-nya itu adalah bagaimana sistem kita terbuka sehingga data-data itu bisa kita kumpulkan dari mana saja secara seamless,” ujar Iwan dalam sebuah webinar. (DDTCNews)
Komisi XI DPR dan pemerintah menyepakati target pendapatan negara pada 2025 akan mencapai 12,3% hingga 12,36% PDB. Guna mengejar target itu, ada sejumlah rekomendasi yang disodorkan Komisi XI kepada pemerintah.
Anggota Komisi XI DPR Wihadi Wiyanto menyebut optimalisasi pelaksanaan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dapat menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan pendapatan negara.
Peningkatan pendapatan negara juga dapat dicapai dengan melakukan terobosan pada sektor pajak dan cukai melalui kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi. Secara bersamaan, coretax administration system, CEISA, dan Simbara harus diperkuat untuk meningkatkan kepatuhan dan perluasan basis pajak. (DDTCNews)
Komisi XI DPR mendukung penerapan automatic blocking system (ABS) guna menyelesaikan piutang perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Anggota Komisi XI DPR Wihadi Wiyanto mengatakan ABS dapat dilaksanakan sebagai bagian dari upaya optimalisasi penerimaan negara. Meski demikian, lanjutnya, ABS harus dijalan dengan kriteria yang konsisten.
Kementerian Keuangan selaku pengelola fiskal mengimplementasikan ABS sejak 1 Januari 2022. ABS semula diterapkan untuk mengoptimalkan penagihan piutang PNBP. (DDTCNews)
Pemerintah berkomitmen untuk terus memperluas basis pajak guna mengoptimalkan penerimaan pajak. Adapun penerapan perjanjian pajak global atau global taxation agreement akan terus diperkuat untuk mencegah bocornya potensi pajak lewat praktik penghindaran pajak.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan mengatakan pemerintah saat ini masih melakukan persiapan dalam penerapan pajak global.
"Persisnya seperti apa akan kita umumkan, tapi kita antisipasi bahwa kalau pilar 2 sudah mulai berlaku. Kita juga akan melihat secara lebih realistis negara mana dari mitra dagang utama kita yang akan melakukan, dan juga mitra investasi kita," kata Febrio. (Kontan) (sap)