Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan mendapatkan beberapa temuan terkait dengan kegiatan pemeriksaan bukti permulaan (bukper). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (15/3/2024).
Pengawasan terhadap kegiatan pemeriksaan bukper tersebut merupakan bagian dari pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan penerimaan negara yang dijalankan Inspektorat Jenderal (Itjen) sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Dikutip dari Laporan Kinerja (Lakin) Itjen 2023, ada beberapa temuan signifikan dari pengawasan atas kegiatan pemeriksaan bukper tersebut.
Pertama, perhitungan nilai pengungkapan ketidakbenaran perbuatan (Pasal 8 ayat (3) UU KUP) tidak didukung dengan kertas kerja pengujian sudah sesuai atau belumnya pengungkapan tersebut dengan keadaan yang sebenarnya.
Berdasarkan pada Pasal 8 ayat (3) UU KUP, walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukper, wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya.
Perbuatan yang dimaksud adalah tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar/tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan pada penuntut umum lewat penyidik pejabat Polri.
Kedua, permohonan perpanjangan jangka waktu bukper dan penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan (SPPBP) belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Ketiga, masih ditemukan hasil pemeriksaan bukper dengan simpulan usul penyidikan tetapi belum ditindaklanjuti.
Selain pengawasan atas pemeriksaan bukper, ada pula ulasan mengenai pengawasan Itjen Kemenkeu terkait dengan pemeriksaan pajak. Selain itu, terdapat ulasan lainnya terkait dengan kenaikan tarif PPN, evaluasi pajak kripto, hingga setoran pajak digital.
Itjen Kemenkeu telah melakukan kegiatan pengawasan atas proses bisnis (probis) pemeriksaan pada 7 kanwil dan 9 kantor pelayanan pajak (KPP). Dari hasil kegiatan pengawasan tersebut, terdapat beberapa temuan signifikan.
Pertama, pelaksanaan pengujian lapangan pada pemeriksaan pajak melebihi jangka waktu penyelesaian sebagaimana ditetapkan dalam PMK 17/2013 s.t.d.d PMK 184/2015. Kedua, masih ditemukan hasil pemeriksaan yang tidak didukung dengan kertas kerja pemeriksaan yang memadai.
Ketiga, kurang koreksi pemeriksaan perihal omzet, HPP, penyusutan, transfer pricing, pajak masukan, kompensasi PPN, dan objek PPh 23. Keempat, masih terdapat Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan melampaui jangka waktu penetapan (daluwarsa penetapan). (DDTCNews)
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) melanjutkan pembahasan evaluasi pajak kripto dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo).
Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti Tirta Karma Senjaya mengatakan pembahasan secara internal akan dilakukan setelah adanya tanggapan dari pihak Ditjen Pajak (DJP) mengenai evaluasi pajak kripto.
“Ditjen Pajak sudah menanggapi ya, kemarin mereka siap untuk bicara. Kalau begini kan, mereka sudah (memberikan) lampu hijau, kami juga enak ya masuknya seperti itu,” katanya dalam sebuah acara diskusi. (mediaindonesia.com)
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk mengurus perusahaan informal yang belum membayar pajak, ketimbang menaikkan tarif PPN pada 2025 sebesar 12%.
"Jadi sebetulnya target yang sebenarnya pemerintah harus lakukan ekstensifikasi, itu menambah jumlah base pembayar pajak," kata Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani.
Shinta menuturkan kebijakan ekstensifikasi atau perluasan cakupan wajib pajak harus dilakukan saat ini karena perusahaan informal masih sangat banyak. Akibatnya, mereka tidak tercakup ke dalam perusahaan yang harus membayar pajak. (cnbcindonesia.com)
DJP mencatat realisasi penerimaan pajak dari sektor usaha ekonomi digital mencapai Rp22,18 triliun dalam tahun berjalan ini.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti menyampaikan jumlah tersebut berasal dari pemungutan PPN PMSE sebesar Rp18,15 triliun, pajak kripto Rp539,72 miliar, pajak fintech (P2P lending) Rp1,82 triliun, dan pengadaan melalui SIPP sejumlah Rp1,67 triliun.
Hingga Februari 2024, pemerintah juga telah menunjuk 167 pelaku usaha PMSE menjadi pemungut PPN, termasuk 4 penunjukan pemungut PPN PMSE dan 1 pembetulan atau perubahan data pemungut PPN PMSE. (bisnis.com)
Dalam menghitung pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 terutang, nominal tunjangan hari raya (THR) yang diterima pegawai digabungkan dengan gaji dan penghasilan lainnya pada masa pajak yang sama saat diterima.
Akumulasi penghasilan bruto pada masa pajak tersebut kemudian dikalikan dengan tarif efektif sesuai dengan kategori pada Lampiran Peraturan Pemerintah (PP) 58/2023.
"THR yang diterima di 2024 digabungkan dengan gaji dan penghasilan lain di masa pajak yang sama saat menerimanya," cuit contact center DJP saat menjawab pertanyaan warganet.
Perlu dicatat, besaran THR tidak bisa digeser ke bulan lain untuk menghindari pengenaan PPh Pasal 21 yang lebih rendah di bulan tertentu. (DDTCNews)