Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji saat memberikan paparan dalam acara DDTC Breakfast Talk dengan tema Bersiap Antisipasi Two-Pillar Solution, Selasa (5/12/2023).
JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak perlu bersiap mengantisipasi dampak-dampak yang bakal ditimbulkan dari penerapan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).
Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan negara-negara dari Inclusive Framework telah menyepakati pajak minimum global sebesar 15% dalam Pilar 2. Ketentuan tersebut salah satunya bakal berpengaruh pada ketentuan insentif pajak.
"Yang selama ini eligible memperoleh insentif seperti tax holiday, mungkin tax holiday yang Anda dapatkan nantinya tidak akan optimal," katanya dalam DDTC Breakfast Talk dengan tema Bersiap Antisipasi Two-Pilar Solution, Kamis (7/12/2023).
Bawono menjelaskan Pilar 2 bertujuan untuk mengurangi harmful tax competition dan menekan profit shifting. Pilar 2 bakal diimplementasikan sebagai common approach mulai tahun depan.
Mengingat Pilar 2 adalah common approach, setiap yurisdiksi perlu mengadopsi rezim pajak tersebut tanpa perlu menunggu adanya multilateral instrument (MLI) dan sejenisnya.
Apabila tarif pajak efektif perusahaan multinasional pada suatu yurisdiksi tidak mencapai 15%, top-up tax bakal dikenakan. Agar top-up tax dapat dikenakan negara sumber, qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT) harus diterapkan.
Penerapan QDMTT bakal memastikan negara sumber berhak mengenakan top-up tax atas penghasilan yang kurang dipajaki. Namun jika tanpa QDMTT, top-up tax adalah hak yurisdiksi tempat ultimate parent entity (UPE) berlokasi.
Sejumlah negara, termasuk Uni Eropa telah bersiap mengimplementasikan pajak minimum global pada 2024. Oleh karena itu, negara-negara sumber mau tidak mau perlu bergegas menerapkan GloBE Rules sehingga top-up tax tidak menjadi hak yurisdiksi UPE berlokasi.
Di sisi lain, apabila negara sumber dan UPE tidak mengenakan GloBE Rules maka top-up tax dapat dikenakan di yurisdiksi sister company beroperasi.
"Nantinya tidak akan ada tempat lagi untuk bisa lolos dari tarif minimum tax," ujar Bawono.
Sementara itu, Tax Expert of CEO Office DDTC Atika Ritmelina menilai Pilar 2 bakal berdampak pada hampir semua perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta.
Oleh karena itu, perusahaan multinasional perlu segera bersiap mengantisipasinya karena Pilar 2 akan menjamin pengenaan top-up tax.
Atika menuturkan Pilar 2 akan mengubah mekanisme pemberian insentif pajak di negara sumber, termasuk Indonesia. Namun, ada pula kemungkinan muncul fitur-fitur baru terkait dengan insentif pajak sehingga tetap memenuhi ketentuan tarif efektif 15%.
Sementara itu, Manager of DDTC Consulting Riyhan Juli Asyir menjelaskan Indonesia termasuk negara yang bersiap mengimplementasikan Pilar 2. Kesiapan itu tercermin dari sejumlah payung hukum yang telah terbit berupa UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan PP 55/2022.
Selain itu, pemerintah saat ini juga tengah menyiapkan peraturan menteri keuangan (PMK) untuk mengimplementasikan Pilar 2. Rencananya, PMK tersebut terbit pada tahun depan.
Riyhan memandang solusi 2 pilar akan membuat penggunaan tax control framework (TCF) makin jamak diterapkan. TCF digunakan untuk membantu perusahaan merancang, menerapkan, sekaligus memantau proses dan kontrol internal terkait dengan perpajakan.
Nantinya, otoritas pajak dapat mengakses TCF tersebut. Adapun bagi wajib pajak, keuntungan dari TCF ialah dapat menurunkan potensi sengketa asal memiliki profil yang baik.
Di sisi lain, Specialist of DDTC Fiscal Research & Advisory Hamida Amri Safarina menjelaskan Pilar 1 untuk menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital karena tidak lagi berbasis kehadiran fisik di yurisdiksi pasar.
Yurisdiksi pasar mendapatkan hak pemajakan atas 25% dari residual profit yang diterima korporasi multinasional yang tercakup pada Pilar 1. Amount A mencakup perusahaan multinasional dengan pendapatan global di atas €20 miliar dan profitabilitas di atas 10%, sedangkan Amount B mencakup seluruh perusahaan multinasional.
Amount A bakal memberikan peluang bagi yuridiksi sumber untuk mengenakan pajak kepada perusahaan multinasional berdasarkan pendapatan yang mereka hasilkan dari negara tersebut, meski tidak ada kehadiran fisik.
Sementara itu, Amount B memungkinkan negara-negara berkembang untuk menyederhanakan ketentuan transfer pricing. "Implikasinya kira-kira ketentuan transfer pricing akan disederhanakan, khususnya pada perusahaan dengan aktivitas distribusi dan pemasaran," katanya. (rig)