Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Otoritas fiskal menerbitkan peraturan mengenai tata cara melakukan pencatatan serta pembukuan untuk tujuan perpajakan. Rilisnya peraturan tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (14/6/2021).
Peraturan yang dimaksud adalah PMK 54/2021. Terbitnya beleid ini untuk memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak orang pribadi, termasuk yang memenuhi kriteria tertentu, yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan.
Sesuai dengan Pasal 10A PP 74/2011 s.t.d.d PP 9/2021, ada beberapa wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang dikecualikan dari kewajiban penyelenggaraan pembukuan tapi wajib melakukan pencatatan antara lain.
Pertama, wajib pajak orang pribadi yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan NPPN. Kedua, wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Ketiga, wajib pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu.
Khusus untuk wajib pajak orang pribadi dengan kriteria tertentu, sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) PMK 54/2021, wajib pajak itu melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas serta atas peredaran bruto dari kegiatan secara keseluruhan dikenai PPh final dan/atau bukan objek pajak dan tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak.
“Wajib pajak [dengan kriteria tertentu tersebut] … dapat melakukan pencatatan tanpa menyampaikan pemberitahuan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN),” bunyi penggalan Pasal 5 ayat (2).
Selain mengenai terbitnya PMK 54/2021, ada pula bahasan terkait dengan perpanjangan insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) ditanggung pemerintah (DTP) 100% untuk mobil. Ada pula penjelasan DJP melalui Instagram mengenai pengenaan PPN.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Selain mengenai wajib pajak yang wajib melakukan pencatatan, melalui PMK 54/2021, pemerintah juga memberikan kemudahan dalam menyelenggarakan pembukuan untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya bagi wajib pajak tertentu.
Dalam beleid itu, pemerintah memerinci ketentuan mengenai penyelenggaraan pembukuan dengan stelsel kas bagi wajib pajak tertentu. Wajib pajak tertentu yang dapat menyelenggarakan pembukuan dengan stelsel kas adalah wajib pajak yang memenuhi 2 syarat pada Pasal 10 ayat (2) PMK 54/2021.
Pertama, wajib pajak harus secara komersial berhak menyelenggarakan pembukuan berdasarkan pada standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi usaha mikro dan kecil. Kedua, wajib pajak orang pribadi yang diperbolehkan untuk menggunakan NPPN atau memenuhi memenuhi kriteria tertentu tetapi memilih atau diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.
Selain wajib pajak orang pribadi, ada wajib pajak badan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun. Peredaran bruto yang dimaksud adalah jumlah keseluruhan peredaran bruto dari setiap jenis dan tempat usaha pada tahun pajak sebelumnya. Simak ‘PMK Baru, Ini Syarat Wajib Pajak yang Bisa Pakai Pembukuan Stelsel Kas’. (DDTCNews)
Pemerintah memperpanjang masa pemberian insentif PPnBM DTP untuk kendaraan bermotor. Fasilitas PPnBM DTP 100% diberikan hingga Agustus 2021. Selanjutnya, PPNBM DTP 50% diperpanjang diberikan hingga Desember 2021.
Perpanjangan waktu pemberian insentif PPnBM DTP diusulkan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dan disetujui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada Jumat (11/6/2021).
“Ini bertujuan membangkitkan kembali gairah usaha di Tanah Air, khususnya sektor industri, yang selama ini konsisten berkontribusi signifikan bagi perekonomian nasional,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. (Kontan/Bisnis Indonesia)
Ditjen Pajak (DJP) memberikan penjelasan mengenai beredarnya kabar pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas sembako. Lewat akun Instagram @ditjenpajakri, DJP mengunggah infografis bertajuk Sembako Bakal Kena PPN? Coba Cek Faktanya.
DJP mengatakan pengecualian dan fasilitas PPN yang diberikan pada saat ini tidak mempertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi sehingga menciptakan distorsi. Oleh karena kondisi tersebut, pemerintah saat ini menyiapkan RUU KUP yang berisi konsep reformasi perpajakan. Salah satunya adalah reformasi sIstem PPN.
Sistem baru tersebut diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan dengan mengurangi distorsi dan menghilangkan fasilitas yang tidak efektif. Dengan demikian, kepatuhan pajak dapat meningkat dan pendapatan negara dapat lebih optimal. Simak ‘Sembako Bakal Kena PPN? Begini Penjelasan DJP’. (DDTCNews)
Kepala Seksi Kepatuhan Wajib Pajak Sektor Perdagangan DJP Aidil Nusantara mengatakan meskipun pemindahan wajib pajak ke KPP Madya sudah dilakukan secara otomatis dengan sistem DJP, ada beberapa wajib pajak yang perlu melakukan tindakan lanjutan terkait dengan kewajiban PPN.
Wajib pajak yang dimaksud adalah wajib pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pusat dengan status non-pengusaha kena pajak (non-PKP), sedangkan cabangnya berstatus PKP. Wajib pajak tersebut terdampak pemusatan tempat PPN secara otomatis. Simak ‘Wajib Pajak PKP Pindah ke KPP Madya, Pemusatan Tempat PPN Berlaku’.
“Karena wajib pajak [di KPP] Madya itu otomatis memiliki fasilitas pemusatan [PPN] sehingga pusatnya otomatis kami PKP-kan secara jabatan dan cabangnya tentu seperti yang lainnya, kita non-PKP-kan,” katanya.
Aidil mengatakan karena penerbitan PKP memerlukan aktivasi akun, terutama berkaitan dengan nomor seri faktur pajak dan sertifikat elektronik, wajib pajak perlu datang ke KPP Madya. (DDTCNews)
Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang jangka waktu pemberian subsidi bunga seiring dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 50/2021 yang merevisi aturan sebelumnya yaitu PMK No. 138/2020.
Berdasarkan pada Pasal 8 ayat (1) huruf b PMK 50/2021, subsidi bunga pada 2021 diberikan dalam jangka waktu paling lama 6 bulan dan berlaku sejak 1 Januari—30 Juni 2021. Sebelumnya, subsidi bunga hanya diberikan hingga Desember 2020. (DDTCNews)
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Dolfie OFP menyarankan pemerintah agar segera merealisasikan rencana penambahan barang kena cukai (BKC) pada tahun depan.
Dolfie mengatakan ekstensifikasi objek cukai tersebut tidak hanya pada kantong plastik, tetapi juga pada minuman bersoda dan makanan berpemanis. "Karena ini memang punya implikasi terhadap kesehatan, dan prinsip cukai adalah membatasi orang mengonsumsi barang yang dikenakan cukai," katanya. (DDTCNews/Kontan) (kaw)