Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Melalui PMK 168/2023, pemerintah mengubah ketentuan perhitungan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi bukan pegawai. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (8/1/2024).
Berdasarkan PMK 168/2023, PPh Pasal 21 bukan pegawai dihitung dengan mengalikan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dengan 50% jumlah penghasilan bruto. Formula tersebut berlaku bagi bukan pegawai tanpa mempertimbangkan kesinambungan pemberian penghasilan dan kepemilikan NPWP.
"PPh Pasal 21 yang wajib dipotong bagi bukan pegawai dihitung menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dikalikan dengan dasar pengenaan dan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) [50% dari jumlah penghasilan bruto],” penggalan Pasal 16 ayat (3) PMK 168/2023.
Formula tersebut cukup berbeda apabila disandingkan dengan ketentuan terdahulu yang diatur dalam PMK 252/2008 dan Perdirjen Pajak PER-16/PJ/2016. Sebelumnya, secara ringkas, formula perhitungan PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai setidaknya terbagi menjadi 3 skema.
Selain mengenai penghitungan PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai, ada pula ulasan terkait dengan ketentuan baru penundaan atau pengangsuran utang di bidang kepabeanan dan cukai. Kemudian, ada bahasan tentang terbitnya PP 1/2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional.
Berdasarkan ketentuan sebelumnya, perhitungan PPh bagi bukan pegawai yang menerima penghasilan berkesinambungan akan dihitung secara kumulatif. Ketentuan perhitungan secara kumulatif tersebut kini tidak lagi diatur dalam PMK 168/2023.
“Langsung tarif Pasal 17 [UU PPh] dikali 50% dikali penghasilan bruto per bulan itu yang harus dipotong. Tidak kumulatif. Tidak ada istilahnya berkesinambungan,” Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Muda Ditjen Pajak (DJP) Giyarso dalam Taxlive Eps.119: TER PPh Pasal 21.
Adapun bukan pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagai imbalan atas pekerjaan bebas atau jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
Penerima penghasilan yang termasuk bukan pegawai di antaranya tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, olahragawan, pengarang, peneliti, dan penerjemah, dan agen iklan. (DDTCNews)
Pemerintah daerah (pemda) dapat melakukan penarikan pokok dana abadi daerah jika mengalami kondisi darurat. Merujuk pada Pasal 81 ayat (2) PP 1/2024, kondisi darurat adalah kondisi darurat sesuai dengan ketentuan dalam UU HKPD. Pemda perlu mengajukan usulan ke menteri keuangan.
"Penarikan pokok dana abadi daerah ... dilakukan setelah daerah mengajukan usulan penarikan pokok dana abadi daerah dan mendapatkan persetujuan menteri," bunyi Pasal 81 ayat (3) PP 1/2024.
Sebelum persetujuan diberikan, menteri keuangan harus terlebih dahulu mendapatkan pertimbangan dari menteri dalam negeri. Adapun menteri dalam negeri melakukan penilaian atas kegiatan yang akan didanai dari penarikan pokok dana abadi daerah dan keberlanjutan dana abadi daerah. (DDTCNews)
Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan PPN dan PPnBM sepanjang 2023 mencapai Rp764,3 triliun atau setara 104,6% dari target. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan realisasi ini juga mengalami pertumbuhan 11,2%.
Sri Mulyani mengatakan penerimaan PPN/PPnBM dalam tahun berjalan ini ditopang oleh konsumsi domestik. Hal itu tecermin dari realisasi penerimaan PPN dalam negeri yang tumbuh 22,1% atau lebih tinggi dari pertumbuhan pada 2022 sebesar 13,7%.
Dia menjelaskan PPN dalam negeri akan tumbuh positif sepanjang kinerja konsumsi masih terjaga. PPN dalam negeri bahkan menjadi kontributor terbesar dalam penerimaan pajak 2023, yakni mencapai 25,5%. (DDTCNews)
Pemerintah telah menerbitkan PMK 154/2023 mengenai penundaan atau pengangsuran utang di bidang kepabeanan dan cukai. PMK 154/2023 diterbitkan untuk mencabut dan menggantikan PMK 122/2017 serta PMK 116/2008.
"Untuk optimalisasi penerimaan bea masuk, bea keluar, dan cukai, serta memberikan kemudahan dalam pembayaran utang bea masuk, bea keluar, cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda, PMK 122/2017 dan PMK 116/2008 perlu diganti," bunyi salah satu pertimbangan PMK 154/2023. Simak ‘PMK Baru! Aturan Penundaan atau Pengangsuran Utang Kepabeanan & Cukai’. (DDTCNews)
Sesuai dengan PMK 168/2023, imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan termasuk kategori penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang harus dipotong PPh Pasal 21.
"Penghasilan…dapat diberikan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan," bunyi Pasal 5 ayat (2) PMK 168/2023.
Namun demikian, apabila imbalan natura dan kenikmatan yang diberikan ternyata dikecualikan dari objek PPh maka pemotong pajak tidak perlu memotong PPh Pasal 21 atas pemberian imbalan tersebut. (DDTCNews) (kaw)