Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Dengan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) atau coretax system, Ditjen Pajak (DJP) akan memindahkan ribuan pegawai yang selama ini mengurus pelayanan. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (12/10/2022).
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan dengan adanya coretax system, pelayanan kepada wajib pajak akan lebih banyak mengandalkan pemanfaatan teknologi informasi.
“Kita bisa mengalihdayakan sumber daya manusia kita yang tadinya fokus di pelayanan kepada wajib pajak itu ke pengawasan, pemeriksaan, atau penegakan hukum. Itu jumlahnya sekitar 6.000-an dari yang tadinya, misalnya memberikan pelayanan,” ujar Nufransa.
Nufransa mengatakan pemanfaatan teknologi informasi dalam proses bisnis pelayanan akan memudahkan wajib pajak dalam urusan administrasi, termasuk pelaporan dan pembayaran pajak. Pada saat bersamaan, pengalokasian sumber daya manusia DJP lebih baik.
“Jadi, kembali ke core business-nya DJP, pengawasan. Pelayanan tetap kita tingkatkan, tetapi melalui teknologi,” imbuhnya.
Selain rencana DJP dalam pengalokasian sumber daya manusia ketika sudah ada coretax system, ada pula ulasan mengenai penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Kemudian, masih ada juga bahasan tentang realisasi restitusi pajak.
Sejalan dengan perubahan pengalokasian sumber daya manusia, DJP juga akan memperkuat skema pengawasan berbasis risiko wajib pajak. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan wajib pajak dengan risiko tinggi akan diawasi lebih ketat.
“Nanti ada level-levelnya by system. Mereka [fiskus] akan lebih mudah melakukan pengawasan dibandingkan misalnya harus mengawasi jutaan wajib pajak. Kita awasi yang berisiko tinggi saja. [Wajib pajak] yang kita anggap sudah patuh, kita edukasi secara soft,” jelasnya. (DDTCNews)
Wajib pajak perlu menanggapi SP2DK dari DJP. Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP Arif Yunianto mengatakan tanggapan diberikan dalam jangka 14 hari sejak menerima SP2DK. Tanggapan sangat penting, terutama ketika data dan informasi yang masuk dalam SP2DK butuh diklarifikasi.
“Kalau tidak menanggapi [SP2DK] maka DJP akan menganggap data yang terdapat pada SP2DK adalah data yang sebenarnya. Namun, jika wajib pajak memberikan sanggahan serta mengumpulkan bukti-bukti maka dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh DJP,” kata Arif. Simak pula ‘Terima SP2DK? DJP: Bukan Tagihan Pajak’. (DDTCNews)
Nilai restitusi pajak hingga September 2022 tercatat sudah mencapai Rp166,93 triliun atau tumbuh 3,84% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan restitusi hingga September 2022 didorong tingginya nilai restitusi dipercepat.
"Menurut sumbernya, restitusi dipercepat mencapai Rp69,88 triliun atau bertumbuh 50,85% (yoy)," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor. (DDTCNews)
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti menyebut pertumbuhan penerimaan pajak yang tinggi pada 2022 tidak terlepas dari berkah kenaikan harga komoditas global. Namun, kondisi itu tidak bisa selamanya menjadi andalan.
Faktor harga komoditas dan penyelenggaraan PPS memang tidak akan berulang pada 2023. Namun, sambungnya, masih terdapat sejumlah peluang yang dapat dimanfaatkan untuk menjaga tren positif penerimaan pajak.
Misal, melalui pengawasan atas kepatuhan wajib pajak. DJP telah memiliki berbagai data yang dapat dipakai untuk menguji kepatuhan wajib pajak, baik yang diperoleh dari penyelenggaraan PPS maupun skema pertukaran data dengan instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP). (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) resmi merilis kerangka pelaporan aset kripto atau Crypto-Asset Reporting Framework (CARF).
CARF dirilis berdasarkan permintaan negara-negara G-20. CARF akan menjadi landasan bagi setiap negara untuk mempertukarkan informasi aset kripto melalui automatic exchange of information (AEOI) secara terstandardisasi sesuai dengan common reporting standard (CRS).
"CARF dan amendemen terhadap CRS akan memastikan arsitektur transparansi pajak tetap mutakhir dan efektif," ujar Sekjen OECD Mathias Cormann dalam keterangan resmi. (DDTCNews)
DJP menyebut penggunaan klasifikasi baku lapangan usaha (KBLI) sebagai pengganti klasifikasi lapangan usaha (KLU) sesuai dengan PER-12/PJ/2022 tidak akan berdampak terhadap penerapan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengatakan penentuan persentase NPPN tetap mengacu pada jenis penghasilan meskipun daftar persentase NPPN pada lampiran PER-17/PJ/2015 diperinci berdasarkan KLU.
"Untuk itu, pemberlakuan KLBI sebagai KLU tidak memengaruhi penentuan persentase penghitungan penghasilan neto. Wajib pajak berpedoman pada jenis penghasilan yang diterima," katanya. (DDTCNews) (kaw)