Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20 dalam pertemuan pada Juli 2021. (g20.org)
VENESIA, Juli 2021. Sebanyak 132 negara atau yurisdiksi yang mewakili lebih dari 90% produk domestik bruto (PDB) global telah membuat kesepakatan bersejarah arsitektur pajak internasional. Sebuah solusi atas tantangan pajak yang muncul karena adanya digitalisasi ekonomi.
Salah satu kesepakatan dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G-20 tersebut tentu saja menjadi pesan politik yang kuat. Mereka ingin berpesan sekarang saatnya membuat perusahaan multinasional membayar pajak dengan adil. Tidak bisa ditunda lagi.
Maklum, diskusi sudah dilakukan bertahun-tahun, setidaknya sejak 2013. Sangat berambisi mencapai kesepakatan global pada Oktober tahun lalu, tetapi gagal. Sekarang, jalan sudah terbuka lebar. Apalagi, sudah ada kesepakatan awal pada level G-7 hingga G-20.
Rencana finalisasi Pilar 1: Unified Approach dan Pilar 2: Global Anti-Base Erosion (GloBE) pada Oktober 2021 dan implementasi pada 2023. Singkatnya, selangkah lagi mencapai sistem pajak yang lebih adil dan berkepastian pada era digitalisasi ekonomi.
Ketatnya timeline tentu saja ada andil dorongan beberapa negara yang sudah tidak sabar memajaki perusahaan multinasional tanpa kehadiran fisik. Bagaimanapun, berlarut-larutnya pembahasan pencapaian konsensus global telah mendorong aksi unilateral dari banyak negara.
Meskipun dimaksudkan agar lebih cepat mendapatkan jatah penerimaan pajak, aksi unilateral berisiko menggerus daya saing. Hal inilah yang terjadi di beberapa negara anggota Uni Eropa. Beberapa negara juga sempat menuai ancaman retaliasi perdagangan dari Amerika Serikat (AS) karena aksi unilateral.
Urusan pajak digital sesungguhnya juga berkaitan erat dengan upaya menjamin kepentingan nasional dalam koordinasi kebijakan pajak antarnegara. Hal ini sepertinya juga sudah diproyeksi Presiden AS Joe Biden. Apalagi terdapat rencana kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 21% menjadi 28%.
Tidak heran jika AS menyerukan pengenaan pajak minimum global dan seruan aksi multilateral. Salah satu narasi yang disampaikan ke publik adalah menghentikan perang tarif (race to the bottom). Nyatanya, AS berhasil memasukkan kepentingan negaranya dengan mengendarai proposal Pilar 2.
Namun, perlu diakui, mulusnya pencapaian kesepakatan dari 132 negara juga berkat AS yang mulai kooperatif mendukung langkah multilateral. Seruan AS juga telah memicu pemikiran jalan tengah penentuan ruang lingkup (scope) perusahaan yang terkena dampak konsensus.
Perlu digarisbawahi, dalam kesepakatan terakhir pada Pilar 1, tidak ada segmentasi bisnis ekonomi digital seperti automated digital services (ADS) dan consumer facing businesses (CFB). Cakupan dalam Pilar 1 adalah seluruh korporasi multinasional dengan threshold omzet tertentu.
Kesepakatan itu juga bagian dari seruan AS yang mengajak semua negara berfokus untuk menyasar 'pemenang' atau pihak yang diuntungkan dari globalisasi tanpa memunculkan diskriminasi. Maklum, mayoritas raksasa teknologi juga berasal dari Negeri Paman Sam. Seruan itu masuk akal meskipun tetap memuat kepentingan AS.
Dari situasi tersebut kita kembali diingatkan mengenai adanya kepentingan politik dan ekonomi setiap negara yang sangat beragam dalam upaya pencapaian konsensus global. Bukan tidak mungkin jika kepentingan negara-negara besarlah yang lebih banyak diakomodasi.
Tidak mengherankan jika bermunculan pendapat mengenai tidak terwakilinya kepentingan negara berkembang. Lantas, apakah artinya negara berkembang seperti Indonesia sama sekali tidak akan mendapatkan keuntungan dari pencapaian konsensus?
Rasanya kurang pas jika dikatakan sama sekali tidak mendapatkan keuntungan. Konsensus global ini jelas memberikan keadilan karena berangkat dari upaya memerangi base erosion and profit shifting (BEPS) di tengah maraknya digitalisasi ekonomi.
Hanya saja, besar atau tidaknya keuntungan itu tergantung skema akhir. Sikap pemerintah Indonesia mendukung adanya konsensus multilateral sudah berada di jalur tepat. Skema ini memberi kepastian untuk otoritas dan pelaku bisnis. Risiko sengketa juga bisa diminimalisasi ketimbang aksi unilateral.
Namun, perlu diingat, sikap tersebut sama artinya dengan menyerahkan sebagian kekuasaan atau kedaulatan negara dalam mengatur kebijakan pajaknya. Artinya, kebijakan pajak yang bersifat lintasyurisdiksi tidak bisa diatur sendiri.
Oleh karena itu, pemerintah harus tetap memperjuangkan kepentingan Indonesia di tengah sempitnya waktu hingga finalisasi teknis pada Oktober 2021. Setidaknya, bila tidak bisa mengubah kesepakatan prinsip kebijakan, Indonesia tetap bisa memperjuangkan beberapa aspek teknis.
Pilar 1 misalnya, skema kebijakan masih cenderung kompleks meskipun penentuan ruang lingkupnya sudah tidak mengenal segmentasi ekonomi digital. Namun, terobosan administrasi dibutuhkan. Kesederhanaan administrasi patut diperjuangkan Indonesia dalam pembicaraan detail teknis.
Selain itu, formula alokasi dari residual profit yang diberikan kepada negara pasar perlu dipastikan menguntungkan. Bagaimanapun, jika disepakati berlaku pada 2023, Indonesia juga tidak bisa lagi menggunakan tindakan unilateral melalui pengenaan pajak transaksi elektronik (PTE).
Pada pilar 2, Indonesia harus memperjuangkan skema carve-out dengan persentase yang lebih besar dari yang telah disepakati saat ini 5%. Skema carve-out setidaknya dapat mempertahankan ruang pemberian insentif pajak untuk aktivitas ekonomi yang substantial.
Perlu digeser juga cara pandang mengenai keadilan yang ingin dicapai. Keadilan yang layak diperjuangkan tidak hanya masalah hak pemajakan, tetapi juga jatah yang didapatkan. Terlebih, sekali lagi, negara sudah menyerahkan kedaulatan pengaturan pajaknya kepada konsensus global. (kaw)