Gedung Pusat (Balairung) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
YOGYAKARTA, DDTCNews - Pemerintah dinilai perlu menata ulang sistem perpajakan untuk meningkatkan kinerja investasi nasional.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Rijadh Djatu Winardi mengatakan pelaksanaan reformasi perpajakan dapat berefek positif terhadap pencapaian target investasi nasional. Melalui reformasi, pemerintah bisa memperluas basis pajak dengan menjangkau sektor informal dan digital secara aktif, menyederhanakan sistem perpajakan, serta mendorong kepatuhan sukarela di semua lapisan wajib pajak.
"Kalau kita bisa menata ulang sistem perpajakan agar lebih adil, luas, dan adaptif, saya yakin ruang fiskal akan semakin kuat, dan target investasi Rp7.500 triliun bukan sekadar ambisi, tapi sesuatu yang bisa dicapai bersama," katanya, dikutip pada Selasa (8/7/2025).
Pemerintah telah menyampaikan Indonesia membutuhkan investasi baru setidaknya Rp7.500 triliun untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8% pada 2026. Pencapaian target investasi ini membutuhkan perbaikan dari berbagai aspek, termasuk pada sistem pajak.
Rijadh mengatakan sistem perpajakan yang kuat tidak hanya diperlukan untuk melonggarkan ruang fiskal, tetapi juga menjaga stabilitas iklim investasi dan kepercayaan investor. Sayangnya, dia menilai sistem perpajakan Indonesia saat ini belum cukup kuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan.
Penerimaan negara yang masih bergantung pada sektor-sektor tertentu serta basis pajak yang sempit menyebabkan Indonesia rentan terhadap perlambatan ekonomi. Dalam jangka panjang, pola penerimaan tersebut berpotensi menyulitkan pemerintah merespons dinamika fiskal secara fleksibel.
Kondisi ini makin jelas ketika melihat tren rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia. Tax ratio Indonesia tercatat sebesar 10,07% pada 2024 atau turun dari tahun sebelumnya yang sebesar 10,31%. Tax ratio tersebut jauh di bawah rata-rata negara Asean yang berkisar 14%–15%, serta negara-negara OECD yang mencapai 34%.
Dalam hampir 2 dekade terakhir, tax ratio Indonesia juga stagnan di kisaran 9%–12%. Padahal, tax ratio yang rendah bakal mempersempit ruang fiskal untuk belanja modal, yang antara lain dibutuhkan dalam merealisasikan proyek infrastruktur dan pelayanan publik.
Tanpa dorongan fiskal dari negara, peran swasta dalam investasi berisiko menurun.
"Ini menunjukkan rapuhnya kemandirian fiskal kita untuk membiayai pembangunan," ujarnya.
Rijadh menilai pemerintah perlu menjadikan perluasan basis pajak sebagai prioritas yang paling mendesak. Sebab tanpa basis pajak yang luas, digitalisasi perpajakan hanya akan mempercepat pencatatan potensi yang sebenarnya masih terbatas.
Pelaku ekonomi informal dan UMKM juga perlu dilibatkan secara aktif dengan pendekatan insentif dan penyederhanaan administrasi. Apabila kedua hal ini dilakukan dengan tepat, pemerintah akan dapat memperluas basis secara signifikan tanpa menimbulkan resistensi.
Selain itu, dia menyoroti sektor digital dan e-commerce yang terus tumbuh tetapi belum memberikan kontribusi optimal terhadap penerimaan pajak. Menurutnya, digitalisasi seperti penerapan coretax system akan efektif hanya jika disertai dengan integrasi data transaksi dan kerja sama antarinstansi.
Kolaborasi antara Ditjen Pajak (DJP), platform digital, dan lembaga keuangan menjadi penting agar pelaporan transaksi bisa dilakukan secara otomatis. Apabila data dapat dipadukan dengan baik, proses pengawasan bisa dilakukan secara real time dan berbasis risiko.
"DJP akan jauh lebih efektif jika punya akses penuh ke data e-commerce untuk mendukung pemungutan PPh sektor digital," katanya.
Dalam konteks mendorong investasi, Rijadh menilai insentif fiskal tetap penting tetapi perlu dijaga agar tidak justru menggerus penerimaan negara. Pemerintah juga perlu mengukur efektivitas insentif secara berkala dan mengaitkannya dengan kinerja penerima manfaat.
Melalui kedua upaya ini, pemberian insentif pajak akan lebih tepat sasaran sekaligus tidak menjadi beban jangka panjang.
Dia juga menggarisbawahi pentingnya reformasi perpajakan jangka panjang yang tidak hanya fokus pada penerimaan, tetapi juga keadilan dan keberlanjutan. Menurutnya, pembenahan sistem harus meliputi penyederhanaan regulasi, penggunaan teknologi seperti artificial intelligence (AI) untuk pengawasan pajak, serta kebijakan fiskal yang mendukung transisi energi dan lingkungan.
Strategi ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal Indonesia tetap relevan dengan agenda global dan tidak tertinggal secara struktural.
"Green fiscal policy harus menjadi prioritas. Pajak harus diarahkan untuk mendukung pembangunan yang tidak hanya pro-growth, tapi juga pro-sustainability," imbuhnya dilansir laman resmi UGM. (dik)