Para pembicara dan moderator dalam webinar bertajuk Transforming Indonesia Tax System to Address Digital Economy Challenges, Sabtu (10/7/2021).
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah Indonesia mendukung upaya kolaboratif untuk mencapai konsensus global mengenai solusi atas tantangan pajak dari ekonomi digital.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan dukungan terhadap upaya untuk mencari solusi secara global tersebut akan tetap mempertimbangkan kepentingan Indonesia.
“Selama ada kesederhanaan dan juga kepastian, Indonesia akan mendukung pelaksanaan konsensus global,” ujarnya dalam webinar bertajuk Transforming Indonesia Tax System to Address Digital Economy Challenges, Sabtu (10/7/2021).
Dalam kesempatan tersebut, Nufransa juga menjabarkan sudah adanya ketentuan mengenai pajak transaksi elektronik (PTE) dalam Perpu 1/2020 yang telah diundangkan melalui UU 2/2020. Namun, ketentuan tersebut diimplementasikan. Hingga saat ini, belum ada aturan teknis mengenai PTE.
Sesuai dengan UU 2/2020, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau penyelenggara PMSE luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap (BUT) dan dikenakan pajak penghasilan (PPh).
Jika penetapan sebagai BUT tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, dikenakan PTE. Pajak ini serupa dengan digital service tax (DST) yang menjadi aksi unilateral beberapa negara lain. Simak ‘Apa itu Pajak Transaksi Elektronik?’.
Nufransa mengatakan belum diimplementasikannya PTE karena Pemerintah Indonesia masih menunggu kesepakatan atau konsensus global pada tahun ini. Apalagi, Indonesia menjadi salah satu dari 130 yurisdiksi anggota Inclusive Framework yang telah menyepakati dua proposal usulan OECD. Simak ‘130 Negara Sepakati Proposal OECD Soal Pajak Digital dan Pajak Minimum’.
Dalam acara yang digelar Perhimpunan Pelajar Indonesia United Kingdom (PPIUK) tersebut, Head of the Tax Policy and Statistics OECD David Bradbury mengatakan kesepakatan yang telah dibuat mengenai pilar pertama dan pilar kedua merupakan kemajuan yang signifikan.
“[Negara yang sepakat] termasuk semua anggota G7 dan G20 serta merepresentasikan lebih dari 90% dari PDB (produk domestik bruto] global. Saya rasa ini [kesepakatan] juga akan memberikan manfaat bagi Indonesia,” kata David.
David mengatakan pilar pertama berupaya mengalokasikan kembali hak perpajakan untuk memberikan hak kepada yurisdiksi pasar untuk mengenakan pajak atas bagian dari keuntungan perusahaan multinasional besar, terlepas dari keberadaan fisiknya. Pengalokasian hak perpajakan diproyeksi terjadi atas keuntungan sekitar US$100 miliar.
Selanjutnya, pilar kedua berupaya untuk mengatasi persaingan pajak (tax competition) melalui pengenaan tarif pajak perusahaan minimum global sebesar 15%. Dengan pengenaan tarif pajak minimum ini, tambahan penerimaan pajak secara global diproyeksi mencapai US$150 miliar per tahun.
Dalam webinar yang menjadi bagian dari Indonesian Scholars International Convention (ISIC) ke-20 ini, Partner of Tax Research and Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan ada bebarapa aspek yang menyebabkan perdebatan terkait dengan base erosion and profit shifting (BEPS) dan digitalisasi.
Pertama, berlanjutnya kompetisi pajak, terutama untuk menarik investasi. Kedua, masih adanya peluang atau celah untuk Tindakan BEPS. Ketiga, adanya tantangan bagi negara berkembang yang banyak mengandalkan PPh korporasi. Keempat, ekonomi politik dari hak perpajakan.
“Masalahnya bukan tentang hak untuk mendapatkan ‘piza’, tetapi seberapa banyak ‘irisan piza’ yang bisa mereka dapatkan,” kata Bawono.
Bawono mengatakan pajak digital merupakan tes atau ujian signifikan dalam tata kelola pajak global. Aksi unilateral dan bilateral merupakan hal yang rasional tapi belum efisien. Kebijakan multilateral menjadi solusi terbaik tapi masih ada 2 isu utama, yakni aspek politik dan teknis.
Indonesian Tax Centre in the United Kingdom (Intact-UK) Expert and MPA CASPPER University of York Ikbal Sanli Muta’ar dalam kesempatan itu mempertanyakan prospek dari kebijakan pajak, terutama PTE, yang ada dalam UU 2/2022.
Jika skema kebijakan yang masuk dalam konsensus global baru diterapkan pada 2023, ada kemungkinan pengenaan PTE sebagai jenis pajak baru. Sebagai aksi unilateral, skema pajak itu sudah sempat memicu tindakan investigasi dari Amerika Serikat.
“Saya rasa karena Indonesia merupakan anggota dari G20, kita akan melihat kebijakan tersebut kemungkinan akan ditunda,” katanya.
Selain itu, Ikbal juga menyoroti skema pengecualian terhadap sektor ekstraktif yang kemungkinan membuat Indonesia tidak mendapatkan keuntungan banyak. (kaw)