BERITA PAJAK HARI INI

E-Faktur Tidak Dapat Persetujuan DJP? Bukan Merupakan Faktur Pajak

Redaksi DDTCNews | Kamis, 07 April 2022 | 08:29 WIB
E-Faktur Tidak Dapat Persetujuan DJP? Bukan Merupakan Faktur Pajak

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Faktur pajak berbentuk elektronik (e-faktur) harus diunggah dan mendapat persetujuan dari Ditjen Pajak (DJP). Topik tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (7/4/2022).

Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 18 ayat (1) PER-03/PJ/2022, e-faktur wajib diunggah (di-upload) ke DJP menggunakan aplikasi e-faktur dan memperoleh persetujuan dari DJP, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-faktur.

E-faktur yang tidak memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak bukan merupakan faktur pajak,” bunyi Pasal 18 ayat (3) peraturan yang berlaku mulai 1 April 2022 tersebut. Simak ‘DJP Terbitkan Peraturan Baru Soal Faktur Pajak’.

Baca Juga:
Ada Sita Serentak, DJP Amankan Aset Milik Wajib Pajak Rp2 Miliar

Adapun persetujuan dari DJP diberikan sepanjang 2 hal. Pertama, nomor seri faktur pajak (NSFP) yang digunakan untuk penomoran e-faktur merupakan NSFP yang diberikan oleh DJP. Kedua, e-faktur diunggah dalam jangka waktu paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-faktur.

Selain mengenai e-faktur, masih ada pula bahasan terkait dengan kebijakan baru pajak pertambahan nilai (PPN), terutama terkait dengan transaksi aset kripto.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Faktur Penjualan yang Diterbitkan PKP

Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 PER-03/PJ/2022, faktur penjualan yang diterbitkan oleh pengusaha kena pajak (PKP) termasuk dalam pengertian faktur pajak berbentuk elektronik (e-faktur) sepanjang memenuhi 2 hal.

Baca Juga:
Ada Cuti Bersama, Layanan Tatap Muka Kantor Pajak Libur Sampai 12 Mei

Pertama, dicantumkan keterangan yang dimaksud dalam Pasal 5 PER-03/PJ/2022. Kedua, diunggah (di-upload) dengan menggunakan aplikasi e-faktur host-to-host dan memperoleh persetujuan dari DJP, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-faktur. (DDTCNews)

Penunjukan Exchanger Aset Kripto Luar Negeri Jadi Pemungut Pajak

DJP memiliki kewenangan untuk menunjuk penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) atau exchanger aset kripto luar negeri menjadi pemungut pajak.

Kasubdit PPN Perdagangan, Jasa & Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung mengatakan DJP sudah memiliki pengalaman menunjuk penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) luar negeri untuk memungut pajak melalui PMK 48/2020.

Baca Juga:
Soal Badan Penerimaan Negara di RKP 2025, Ini Kata Kepala Bappenas

"Dalam konteks kripto ini juga sama ya. Jadi, dimungkinkan pihak luar negeri kami tunjuk. Namun, tentunya setelah kami punya data," katanya. Simak ‘Aset Kripto Dikenai PPN & PPh, Potensi Penerimaan Tembus Rp1 Triliun’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)

Pertimbangan Penetapan Tarif Pajak Transaksi Aset Kripto

Penetapan tarif pajak atas transaksi aset kripto alias cryptocurrency sebesar 0,11% untuk PPN final dan 0,1% untuk PPh Pasal 22 final dilandasi beberapa pertimbangan.

Kasubdit PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung menceritakan hal pertama yang dipastikan dalam penetapan tarif adalah pemerintah tidak ingin beban pajak melebihi biaya transaksi.

Baca Juga:
WP Tak Lapor SPT Masuk ke Data Konkret, Bisa Kena Pemeriksaan Khusus

Mempertimbangkan sifat transaksi cryptocurrency yang anonim dan borderless, DJP pun memutuskan untuk merancang tarif pajak yang rendah. Simak ‘Kenapa Tarif Pajak Kripto Hanya 0,1%? Ternyata Ini Alasan Ditjen Pajak’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)

Kalau PPN Sudah Dipungut, Nanti Boleh Dikembalikan

DJP menegaskan fasilitas pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok sudah bisa diterapkan meskipun aturan teknis berupa peraturan pemerintah (PP) belum ditetapkan.

Kepala Subdirektorat Peraturan PPN Industri DJP Wiwiek Widwijanti mengatakan pengusaha kena pajak (PKP) sudah bisa untuk tidak mengenakan PPN berdasarkan pada UU PPN s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Baca Juga:
Warga Filipina Ingin Sepeda Motor Listrik Dapat Keringanan Pajak

"Pengusaha tidak perlu memungutnya dari sekarang. Kalaupun dipungut nanti boleh dikembalikan lagi," ujar Wiwiek. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)

PPN Akomodasi Perjalanan Keagamaan

Kepala Subdirektorat Peraturan PPN Industri DJP Wiwiek Widwijanti mengatakan UU HPP tetap mengecualikan jasa keagamaan sebagai objek PPN. Sementara untuk akomodasi perjalanan keagamaan dikenakan PPN dengan tujuan mengedepankan asas fairness atau keadilan. Adapun pengenaan PPN terhadap akomodasi perjalanan keagamaan diatur dalam PMK 71/2022.

"Sama seperti jasa biro perjalanan wisata yang lain. Ini penegasan. Jadi, bukan atas umrah, tetapi akomodasinya. Jasa keagamaan tetap non-jasa kena pajak (JKP)," kata Wiwiek. (DDTCNews) (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 08 Mei 2024 | 17:31 WIB KANWIL DJP KEPULAUAN RIAU

Ada Sita Serentak, DJP Amankan Aset Milik Wajib Pajak Rp2 Miliar

BERITA PILIHAN
Rabu, 08 Mei 2024 | 18:30 WIB KAMUS PENERIMAAN NEGARA

Apa Itu Automatic Blocking System?

Rabu, 08 Mei 2024 | 18:00 WIB BEA CUKAI JEMBER

Dapat Laporan Warga, Bea Cukai Gerebek Toko yang Jual Miras Ilegal

Rabu, 08 Mei 2024 | 17:31 WIB KANWIL DJP KEPULAUAN RIAU

Ada Sita Serentak, DJP Amankan Aset Milik Wajib Pajak Rp2 Miliar