BERITA PAJAK HARI INI

Dekati Nasabah Prioritas Bank agar Ikut PPS, Ditjen Pajak Lakukan Ini

Redaksi DDTCNews | Selasa, 14 Juni 2022 | 08:29 WIB
Dekati Nasabah Prioritas Bank agar Ikut PPS, Ditjen Pajak Lakukan Ini

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Bekerja sama dengan perbankan, Ditjen Pajak (DJP) berupaya mengimbau nasabah prioritas untuk memanfaatkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (14/6/2022).

Kasubdit Penyuluhan Pajak Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Inge Diana Rismawanti mengatakan tidak hanya memberikan sosialisasi, otoritas juga akan melakukan edukasi one-on-one kepada wajib pajak nasabah prioritas perbankan.

“Kalau ia memang wajib pajak strategis, memiliki data yang cukup banyak yang belum dilaporkan, kami melakukan kegiatan one-on-one biasanya. Ini karena yang [nasabah] prioritas kadang-kadang tidak mau ramai-ramai bertanyanya. Maunya sendiri-sendiri,” ujar Inge.

Baca Juga:
Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Inge berharap skema one-on-one tersebut dapat membuat wajib pajak nasabah prioritas memahami PPS. Setelah paham mengenai PPS, wajib pajak tersebut dapat mendeklarasikan harta melalui Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH).

Selain mengenai imbauan kepada wajib pajak nasabah prioritas perbankan untuk mengikuti PPS, ada pula bahasan terkait dengan kesepakatan target tax ratio pada 2023 sebesar 9,3% hingga 10%. Kemudian, ada bahasan tentang kajian penambahan barang kena cukai (BKC) baru.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Harta yang Diungkap Wajib Pajak dalam PPS

Kasubdit Penyuluhan Pajak Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Inge Diana Rismawanti mengatakan mayoritas harta yang diungkap dalam PPS berupa kas dan setara kas. Hingga 27 Mei 2022, kas dan setara kas mencapai Rp83,85 triliun dan Per 27 Mei 2022 senilai Rp19,47 triliun.

Baca Juga:
PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

“Pertukaran informasi keuangan sangat berpengaruh. Terlebih, dengan data-data yang kami kirimkan melalui email ke wajib pajak, banyak sekali data keuangan. Kami sekadar mengingatkan bahwa wajib pajak memiliki data keuangan tapi belum dilaporkan dalam SPT mereka,” ujarnya. (DDTCNews)

Target Tax Ratio

Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengatakan target tax ratio sebesar 9,3% hingga 10% menggambarkan kondisi ekonomi 2023 yang masih dibayangi ketidakpastian. Rentang target yang lebar akan memberikan ruang bagi pemerintah untuk merancang besaran yang ideal.

Menurutnya, rasio itu menjadi titik keseimbangan antara usulan pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2023 sebesar 9,3%-9,59% dan kesepakatan di Komisi XI DPR sebesar 9,45%-10,0%.

Baca Juga:
Pilar 1 Tak Kunjung Dilaksanakan, Kanada Bersiap Kenakan Pajak Digital

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menilai kesepakatan target bawah tax ratio sebesar 9,3% mencerminkan adanya ketidakpastian yang menghantui pada tahun depan.

Di sisi lain, lanjutnya, batas atas target tax ratio sebesar 10,0% juga menggambarkan dampak positif dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan optimisme pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19. (DDTCNews/Kontan)

Kajian Cukai Detergen, BBM, dan Ban Karet

Pemerintah sedang melakukan kajian terhadap pengenaan cukai atas detergen, bahan bakar minyak (BBM), dan ban karet. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kajian dilakukan dalam konteks pengendalian konsumsi.

Baca Juga:
Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

"Yang sedang kita kaji adalah beberapa dalam konteks ke depan pengendalian konsumsi seperti ban karet, BBM, dan detergen," ujar Febrio.

Selain melakukan kajian atas penetapan detergen, BBM, dan ban karet sebagai barang kena cukai (BKC), Febrio mengatakan pemerintah saat ini sedang bersiap untuk menetapkan plastik dan minuman berpemanis sebagai BKC. (DDTCNews/Kontan)

Ketentuan Alamat Pembeli Pasal 6 ayat (6) PER-03/PJ/2022

DJP menjelaskan latar belakang munculnya ketentuan alamat pembeli pada faktur pajak yang tertuang dalam Pasal 6 ayat (6) PER-03/PJ/2022. Ketentuan tersebut hanya berlaku untuk pembeli yang pemusatan PPN terutang di KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya (KPP BKM) sesuai dengan PER-07/PJ/2020 s.t.d.d PER-05/PJ/2021.

Baca Juga:
Jokowi Segera Bentuk Satgas Pemberantasan Judi Online

Penyuluh Pajak Ahli Madya Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dian Anggraeni mengatakan PER-07/PJ/2020 s.t.d.d PER-05/PJ/2021 hanya memberi pengecualian pada kawasan bebas. Artinya, pemusatan di kawasan berikat dimungkinkan.

Akibatnya, misalnya, ada pengiriman barang ke kawasan berikat. Namun, alamat pada faktur pajak ditulis sesuai dengan alamat pemusatan PPN yang berada di luar kawasan berikat, seperti Jalan Jenderal Sudirman Jakarta.

“Maka alamatnya adalah alamat di Jalan Jenderal Sudirman. Sebenarnya [pengiriman barang] di kawasan berikat yang mendapat fasilitas, kodenya 07. Ini akan menimbulkan ambigu. Ini [kode transaksi] 07 kok di Sudirman? Enggak ada kawasan berikat di Sudirman,” jelasnya. Simak ‘Alamat pada Faktur Pajak Pasal 6 ayat (6) PER-03/PJ/2022, Ini Kata DJP’. (DDTCNews)

Baca Juga:
Jangan Diabaikan, Link Aktivasi Daftar NPWP Online Cuma Aktif 24 Jam

Insentif Pajak

Kementerian Keuangan berencana tidak akan melanjutkan pemberian insentif pajak yang berkaitan dengan pemulihan ekonomi nasional (PEN). Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5% dan setiap sektor sudah pulih.

"Sektornya sudah pulih semua, kita bersyukur ekonomi kita pulih, orang kerja tambah banyak. Insentif sudah cukup lah," ujar Febrio. (DDTCNews)

Pajak Karbon

Pemerintah memastikan pemungutan pajak karbon akan mulai diterapkan atas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara pada 1 Juli 2022. Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan tarif pajak karbon yang diterapkan atas PLTU batu bara sudah sangat kecil dan tak akan menimbulkan disrupsi.

"Tidak terlalu mendisrupsi, bahkan kita sedang mendorong pasar karbon yang sedang berjalan di PLTU. Di PLTU sudah ada pasar karbon di mana mereka saling trading satu sama lain, US$2 per tonnya," ujar Febrio. (DDTCNews) (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

BERITA PILIHAN
Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

Jumat, 19 April 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jokowi Segera Bentuk Satgas Pemberantasan Judi Online

Jumat, 19 April 2024 | 16:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Jangan Diabaikan, Link Aktivasi Daftar NPWP Online Cuma Aktif 24 Jam

Jumat, 19 April 2024 | 15:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Kring Pajak Jelaskan Syarat Piutang Tak Tertagih yang Dapat Dibiayakan

Jumat, 19 April 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Persilakan WP Biayakan Natura Asal Penuhi 3M