Menkumham Yasonna Laoly (kiri) menyerahkan dokumen ke Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar (kanan) dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10/2021). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.
KURANG dari 4 bulan sejak draf diserahkan ke DPR, RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) akhirnya resmi menjadi undang-undang. Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar bahkan sampai 3 kali meminta persetujuan dan mengetuk palu sebagai tanda pengesahan UU HPP.
Tak bisa dimungkiri, UU HPP ini memiliki peran penting dalam rangkaian reformasi perpajakan di Indonesia ke depan. Tantangan perpajakan juga makin besar sehingga pemerintah dituntut untuk melakukan perubahan, termasuk soal kebijakan.
Seusai pengesahan UU HPP, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menjelaskan urgensi reformasi perpajakan di Indonesia. Menurutnya, reformasi perpajakan diperlukan untuk meningkatkan rasio pajak (tax ratio) sehingga APBN dapat berkelanjutan.
"APBN harus sehat dan berkelanjutan dengan penerimaan negara yang memadai dan risiko APBN juga harus makin terjaga dan relatif manageable," katanya dalam konferensi pers. Simak pula 'UU HPP Disahkan, Sri Mulyani Jelaskan Urgensi Reformasi Perpajakan'.
Bukan tanpa sebab rasio pajak menjadi perhatian pemerintah. Berdasarkan pada hasil survei Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Indonesia merupakan negara dengan kinerja rasio pajak terendah ketiga dari 24 negara se-Asia dan Pasifik.
Berdasarkan pada data yang dipublikasikan OECD dalam laporan Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2021, rasio pajak Indonesia tercatat mencapai 11,6%. Capaian tersebut hanya lebih tinggi dibandingkan dengan kinerja rasio pajak Laos dan Bhutan.
Tidak hanya itu, rasio pajak Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata rasio pajak di 30 negara Afrika. Menurut catatan OECD, rata-rata rasio pajak negara-negara Afrika saat ini mampu mencapai 16,6%.
Selain rasio pajak, pandemi Covid-19 juga membuat agenda reformasi pajak makin mendesak. Hal ini dikarenakan pandemi membuat kebutuhan belanja pemerintah meningkat pesat, mulai dari kebutuhan belanja vaksin, bantuan sosial, hingga insentif pajak untuk dunia usaha.
Sebaliknya, setoran pajak justru tergerus seiring dengan melemahnya aktivitas ekonomi. Pemerintah kemudian meningkatkan utang untuk menutup kebutuhan belanja. Imbasnya, defisit APBN terpaksa melampaui batas 3% dari PDB sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara.
Pemerintah memproyeksikan defisit APBN bisa kembali ke 3% pada 2023. Tentunya dengan catatan jika rangkaian reformasi perpajakan, termasuk pengesahan UU HPP, berjalan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
SEPERTI layaknya UU Cipta Kerja, UU HPP merevisi aturan perpajakan pada beberapa undang-undang, mulai dari UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), hingga UU Cukai. Simak 'Jabarkan Poin-Poin Kebijakan UU HPP, DJP Rilis Pernyataan Resmi'.
Dari UU PPh, ketentuan yang disepakati pemerintah dan DPR untuk direvisi di antaranya lapisan tarif PPh orang pribadi. Dalam UU HPP, penghasilan kena pajak (PKP) lebih dari Rp5 miliar bakal dikenai 35% dari sebelumnya 30%. Ketentuan ini berlaku mulai tahun pajak 2022.
Pemerintah juga menetapkan tarif PPh badan sebesar 22% pada 2022. Awalnya, tarif PPh badan pada tahun depan ditetapkan 20%. Namun, dalam pembahasan antara pemerintah dan DPR, tarif PPh badan akhirnya disepakati untuk tetap 22%.
"Pengaturan ulang tarif PPh badan sebesar 22% ini dalam rangka mendukung penguatan basis pajak," kata Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie OFP.
Dalam UU HPP, pemerintah dan DPR juga menyepakati untuk merevisi ketentuan Pasal 32A UU PPh terkait dengan perjanjian perpajakan dengan negara mitra. Usulan untuk merevisi Pasal 32A tersebut tidak datang dari pemerintah, tetapi dari DPR.
Untuk PPN, pemerintah dan DPR menyepakati pengurangan daftar pengecualian PPN. Barang-barang kebutuhan pokok seperti sembako ditetapkan sebagai barang kena pajak, tetapi akan mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan.
"Akan diberikan fasilitas dibebaskan PPN sehingga masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tidak akan membayar PPN atas konsumsi barang dan jasa tersebut," tutur Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Simak 'Begini Penjelasan Menkumham Soal Fasilitas PPN untuk Kebutuhan Pokok'.
Selain itu, tarif PPN juga disepakati pemerintah dan DPR untuk naik secara bertahap menjadi 11% dari 10% pada 1 April 2022. Sementara itu, usulan pemerintah terkait dengan skema PPN multitarif tidak dimasukkan dalam UU HPP.
Ketentuan sanksi juga tidak luput dari revisi. Pemerintah dan DPR menyepakati untuk menurunkan sanksi denda keberatan dari 50% menjadi 30% dan denda banding menjadi 60% dari sebelumnya 100%. Ketentuan ini berlaku saat tanggal UU HPP diundangkan.
Penurunan besaran sanksi sesungguhnya tidak tercantum pada rancangan awal UU HPP. Pemerintah kala itu hanya mengusulkan pasal baru yang mengatur tentang pengenaan sanksi denda sebesar 100% atas putusan peninjauan kembali (PK) yang dimenangkan oleh DJP.
"Penurunan sanksi diharapkan akan meningkatkan keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum bagi wajib pajak," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor.
UU HPP juga turut mengatur soal program pengungkapan sukarela wajib pajak yang diadakan pada periode 1 Januari—30 Juni 2022. Dalam program tersebut, pemerintah dan DPR menyepakati dua skema pengungkapan sukarela wajib pajak. Simak 'Pengungkapan Sukarela, Dirjen Pajak: Akses Informasi Sudah Kami Dapat'.
Selanjutnya, UU HPP mengatur pengenaan pajak karbon pada 2022. Pemerintah berwenang untuk menetapkan tarif, melakukan perubahan tarif, dan mengatur kembali dasar pengenaan pajak melalui regulasi setingkat peraturan menteri keuangan (PMK).
Namun, beleid tersebut hanya bisa berlaku setelah pemerintah berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, objek pajak karbon juga bisa ditambah pemerintah. Opsi untuk menambah objek pajak karbon diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah (PP).
UU HPP juga mengatur perubahan UU Cukai dengan menerapkan prinsip ultimum remedium atau sanksi pidana sebagai upaya terakhir dalam menangani pelanggaran di bidang cukai. Pemerintah juga menyisipkan satu pasal baru, yaitu Pasal 40B.
Tak ketinggalan, penerapan nomor induk kependudukan NIK sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP) bagi wajib pajak orang pribadi diatur dalam UU HPP. Pemerintah meyakini ketentuan diperlukan untuk meningkatkan kesadaran pajak. Simak 'Ketentuan Penggunaan NIK Sebagai NPWP Orang Pribadi di UU HPP'.
Meski demikian, ketentuan tersebut sesungguhnya tidak tertuang dalam draf awal RUU HPP yang diajukan pemerintah. Merujuk pada Daftar Inventarisasi Masalah RUU HPP, aturan penggunaan NIK sebagai NPWP datang dari usulan Fraksi PDIP, PAN, dan PPP.
Lantas, apakah UU HPP akan langsung mengerek penerimaan? Perlu diingat tidak semua ketentuan dalam UU HPP tersebut dapat langsung menyumbang penerimaan. Beberapa perubahan ketentuan dalam UU HPP baru akan berlaku mulai 2022.
Ketentuan yang dimaksud di antaranya perubahan ketentuan UU PPh, perubahan ketentuan UU PPN, dan program pengungkapan sukarela wajib pajak. Pemerintah memperkirakan tambahan penerimaan pajak dari UU HPP pada tahun depan sekitar Rp130 triliun
Selain itu, UU HPP juga belum menyentuh ketentuan antipenghindaran pajak seperti general anti-avoidance rule (GAAR). Ketentuan GAAR sendiri sebenarnya sempat diusulkan pemerintah, tetapi gagal masuk dalam UU HPP.
Meski demikian, pemerintah telah mematok target kenaikan rasio pajak hingga 2025. Tahun depan, rasio pajak diperkirakan naik menjadi 9,22% dari proyeksi tahun ini sebesar 8,56%. Tahun berikutnya, target rasio pajak dipatok 9,29% dan menjadi 10,12% pada 2025.
Kendati UU tidak langsung memberikan dampak terhadap penerimaan pajak, UU HPP dinilai menjadi modal kuat pemerintah dalam masa pemulihan ekonomi yang diprediksi akan berlangsung pada tahun depan.
“Dengan adanya aturan ini, Indonesia sudah menyiapkan langkah ke depan untuk proses pemulihan perekonomian. Pemulihan ekonomi memang harus diiringi dengan pemulihan penerimaan pajak,” jelas Manager DDTC Fiscal Research Denny Visaro.
Selain itu, lanjut Denny, UU HPP ini juga mempertegas kembali agenda reformasi perpajakan yang terus berlangsung. Terobosan kebijakan perpajakan memang diperlukan di tengah tantangan stagnansi rasio pajak Indonesia dalam jangka waktu menengah.
Simak berbagai ulasan mengenai UU HPP pada laman berikut. Simak pula kumpulan infografis seri UU HPP di sini. (kaw)