JAKARTA, DDTCNews - Tax control framework bisa menjadi salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan wajib pajak dalam mengadministrasikan pajak minimum global sesuai dengan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).
Manager DDTC Consulting Riyhan Juli Asyir mengatakan wajib pajak yang tercakup dalam ketentuan pajak minimum global memang tidak diwajibkan untuk memiliki tax control framework. Meski demikian, tax control framework diperlukan agar wajib pajak bisa mengelola kompleksitas dari ketentuan pajak minimum global.
"Di Pilar 2 memang tidak diatur, tetapi dengan kompleksitas tersebut sebaiknya wajib pajak memiliki tax control framework," ujar Riyhan dalam seminar bertajuk Closing the Loopholes: Global Tax Reform and the Fate of Transfer Pricing yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Administrasi Perpajakan Vokasi UI, Kamis (23/10/2025).
Pada multilateral convention (MLC) dari Amount A Pilar 1, grup perusahaan multinasional yang tercakup Amount A Pilar 1 bahkan diwajibkan untuk memiliki tax control framework.
Tax control framework telah dikenal dan diterapkan di negara tetangga seperti Singapura, Australia, dan Malaysia. Namun, Indonesia masih belum mengadopsi kerangka tersebut.
Menurut Riyhan, salah satu urgensi dari adopsi tax control framework adalah untuk meminimalisasi sengketa.
"Kita bisa bayangkan apabila ada pajak minimum global tetapi tidak ada suatu mekanisme internal tax control framework, potensi sengketa pajak itu akan sangat-sangat besar," ujar Riyhan.
Dengan tax control framework, wajib pajak bisa lebih memahami implikasi dari pajak minimum global. Pemahaman dimaksud bisa menjadi landasan bagi grup perusahaan multinasional dalam mengambil keputusan.
Di Indonesia, pajak minimum global resmi berlaku mulai 2025 berdasarkan PMK 136/2024, sedangkan SPT terkait pajak minimum global baru wajib disampaikan pada 30 Juni 2027.
Meski demikian, perlu diingat bahwa wajib pajak yang merupakan entitas konstituen dari grup perusahaan multinasional tercakup pajak minimum global wajib melakukan pembayaran tambahan selambat-lambatnya pada 31 Desember 2026.
"Apa yang harus kita lakukan, berarti kita harus melakukan semua step-by-step. Untuk menghitung berapa yang harus dibayar, kita harus sudah menyelesaikan semua step-by-step pajak minimum global," ujar Riyhan.
Pertama-tama, wajib pajak yang tercakup pajak minimum global perlu entitas konstituen dalam grup. Setelah itu, wajib pajak juga perlu mengidentifikasi lokasi dari setiap entitas konstituen lalu mengalokasikan laba ke entitas tersebut.
Kemudian, wajib pajak perlu menentukan GloBE income dari dari masing-masing entitas konstituen dan adjusted covered taxes. GloBE income dan adjusted covered taxes nantinya digunakan untuk menghitung tarif pajak efektif dan pajak tambahan yang masih harus dibayar.
Pada tahap terakhir, wajib pajak perlu mengalokasikan pajak tambahan yang harus dibayar baik berdasarkan qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT), income inclusion rule (IIR), ataupun undertaxed payment rule (UTPR).
Berkaca pada kompleksitas di atas, wajib pajak perlu melakukan capacity building agar seluruh departemen terkait memiliki penguasaan mengenai pajak minimum global.
Capacity building dilaksanakan tidak hanya melibatkan departemen pajak, tetapi juga departemen-departemen lainnnya yang terlibat dalam penghitungan financial accounting net income or loss (FANIL).
"Saat ini yang terpenting bagi wajib pajak adalah capacity building. wajib pajak juga harus mulai membangun sistem internal perpajakan yang baik sehingga bisa menghitung berapa pajak tambahan yang harus dibayar," ujar Riyhan. (dik)