LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Tak Cukup Transparan, Belanja Perpajakan Butuh Evaluasi Komprehensif

Redaksi DDTCNews
Jumat, 03 Oktober 2025 | 10.00 WIB
Tak Cukup Transparan, Belanja Perpajakan Butuh Evaluasi Komprehensif
Pungki Yunita Chandrasari,
Kota Bekasi, Jawa Barat

SETIAP tahun, ratusan triliun rupiah potensi penerimaan pajak “hilang” karena pemberian insentif. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, nilai belanja perpajakan karena pemberian insentif tersebut diperkirakan mencapai Rp362,5 triliun pada 2023.

Nilai belanja perpajakan pun diprediksi terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pemerintah bahkan memperkirakan belanja perpajakan pada 2025 meningkat menjadi Rp530,3 triliun, naik 19% dari proyeksi awal senilai Rp445,5 triliun.

Jumlah tersebut bukan sekadar statistik, melainkan sumber daya fiskal yang tidak dikumpulkan negara. Dana sebesar itu sejatinya dapat digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga program sosial.

Pertanyaan fundamental pun muncul: apakah pengorbanan fiskal sebesar itu sepadan dengan manfaat yang diterima perekonomian?

Mulai 2018, pemerintah rutin menerbitkan Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) sebagai bentuk tanggung jawab transparansi fiskal. Laporan ini mencatat besaran penerimaan negara yang hilang akibat pemberian insentif pajak.

Transparansi ini patut diapresiasi karena menjadi fondasi awal akuntabilitas fiskal. Namun demikian, laporan tersebut masih bersifat deskriptif. Terbatas pada angka dan tanpa evaluasi mendalam terkait dengan efektivitas kebijakan.

Padahal, pajak menyumbang lebih dari 70%terhadap total penerimaan negara dalam APBN. Setiap rupiah insentif yang diberikan membawa konsekuensi terhadap kemampuan negara untuk membiayai prioritas pembangunan. Indonesia tak bisa lagi hanya transparansi semata, tetapi kini yang dibutuhkan adalah evaluasi.

Setidaknya ada 3 faktor yang membuat kebutuhan evaluasi insentif pajak makin mendesak. Pertama, tekanan pajak minimum global. Aturan melalui OECD/G20 Pilar 2 di berbagai yurisdiksi sudah berlaku sejak 2024, dan Indonesia resmi menerapkan pada 1 Januari 2025 melalui PMK 136/2024.

Aturan tersebut menetapkan tarif pajak minimum efektif 15% bagi perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi di atas €750 juta. Konsekuensinya, Indonesia tidak lagi leluasa menggunakan insentif berbasis tarif rendah sebagai senjata utama menarik investasi.

Era race to the bottom dalam kompetisi pajak sudah seharusnya berakhir. Strategi harus beralih pada dukungan yang lebih berkualitas: kepastian hukum, infrastruktur memadai, sumber daya manusia terampil, dan birokrasi yang efisien.

Kedua, tekanan fiskal pasca-pandemi. Pemulihan ekonomi, percepatan transformasi digital, dan kebutuhan pembiayaan infrastruktur hijau menuntut ketersediaan sumber daya fiskal yang besar. Setiap rupiah yang hilang akibat insentif tidak efektif merupakan opportunity cost bagi pembangunan jangka panjang.

Ketiga, tuntutan akuntabilitas publik. Masyarakat makin kritis terhadap penggunaan uang negara. Transparansi informasi menuntut pemerintah tidak hanya menyampaikan berapa besar penerimaan yang hilang, tetapi juga membuktikan apakah kehilangan tersebut menghasilkan manfaat nyata. Tanpa evaluasi yang kredibel, legitimasi kebijakan fiskal akan terus dipertanyakan.

Kerangka Tax Expenditure Review yang Dibutuhkan

IMF dalam panduan teknis How to Evaluate Tax Expenditures (2022) menegaskan laporan biaya saja tidak memadai. Evaluasi sistematis harus menjawab 2 pertanyaan kunci: apakah insentif mencapai tujuan kebijakan yang ditetapkan? Dan, apakah manfaat sosialnya lebih besar daripada biaya fiskal yang ditanggung?

Evaluasi komprehensif seharusnya mempertimbangkan dampak riil terhadap investasi baru, transfer teknologi, penciptaan lapangan kerja, distorsi pasar, beban administrasi, risiko penyalahgunaan, hingga aspek keadilan distribusi.

Sebagai contoh, tax holiday tidak cukup hanya diukur dari nilai investasi yang masuk, tetapi juga dari kualitas pekerjaan yang tercipta, transfer teknologi, serta keberlanjutan operasi perusahaan setelah insentif yang diberikan berakhir.

Praktik internasional menunjukkan banyak pelajaran. Jerman mewajibkan evaluasi belanja perpajakan secara menyeluruh setiap siklus legislatif, memastikan semua insentif ditinjau ulang setidaknya sekali dalam 10 tahun.

Evaluasi dilakukan bersama lembaga riset independen dan kerap kali menghasilkan keputusan untuk menghapus sejumlah insentif yang terbukti tidak efektif sehingga berpotensi menambah penerimaan negara hingga miliaran euro per tahun.

Korea Selatan juga menjadi rujukan. Sejak 2010, negeri ginseng menerapkan systematic sunset clause melalui Restriction of Special Taxation Act. Sebagian besar insentif memiliki masa berlaku terbatas dan harus dievaluasi sebelum diperpanjang. Dengan mekanisme ini, insentif yang tidak relevan dapat dihentikan tanpa mengurangi daya tarik investasi.

Indonesia juga dapat belajar dari Vietnam dan Thailand, yang lebih selektif dalam memberi insentif, dan justru menekankan faktor ease of doing business, kepastian hukum, serta infrastruktur. Jika terus memberikan insentif tanpa evaluasi, Indonesia berisiko kehilangan daya saing yang makin besar.

Momentum yang Tidak Boleh Terlewat

Era pajak minimum global sesungguhnya adalah blessing in disguise bagi Indonesia. Hilangnya efektivitas kompetisi berbasis tarif mendorong pemerintah untuk berpikir lebih strategis, berbasis bukti, dan tidak lagi terjebak pada logika insentif tanpa batas.

Momentum ini menuntut peran semua pihak. Pemerintah harus menunjukkan political will yang kuat untuk melakukan tax expenditure review komprehensif. Akademisi tentu dapat berkontribusi dalam membangun metodologi evaluasi yang kokoh, sedangkan masyarakat berhak mengawal transparansi melalui akses informasi publik.

Dengan demikian, tax expenditure review bukan berarti menghapus semua insentif pajak. Esensinya ialah memastikan setiap rupiah penerimaan yang dikorbankan benar-benar mampu menghasilkan manfaat optimal bagi perekonomian.

Oleh karena itu, ada 3 prinsip yang perlu dilakukan. Pertama, transparansi yang lebih detail, termasuk penerima insentif dan dampak ekonominya. Kedua, evaluasi berbasis data, dengan membandingkan biaya fiskal dan manfaat riil yang tercipta.

Ketiga, pembatasan jangka waktu insentif melalui sunset clause dan mekanisme evaluasi periodik. Dengan ketiga prinsip itu, belanja perpajakan bisa menjadi instrumen yang seimbang: mendorong investasi tanpa menggerus penerimaan negara secara berlebihan.

Jika konsistensi, keberanian politik, dan partisipasi publik berjalan seiring, Indonesia akan memasuki era baru pengelolaan insentif. Era di mana setiap kebijakan fiskal diuji, ditimbang, dan memberi nilai tambah nyata bagi pembangunan berkelanjutan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.