REFORMASI pajak sudah bergulir lebih dari 4 dekade. Selama itu, kebijakan-kebijakan pajak terus bertransformasi untuk mengakomodasi kepentingan dua pihak: otoritas pajak dan wajib pajak.
Namun, sistem pajak yang sudah berjalan tampaknya masih belum ideal. Tax ratio Indonesia masih jauh api dari panggang, belum sesuai harapan. Karenanya, penerimaan pajak belum bisa membiayai pembangunan secara optimal.
Sebenarnya apa masalah-masalah fundamental yang dihadapi oleh sistem pajak nasional? Apa pekerjaan rumah yang mestinya diselesaikan secara serius oleh pemerintah?
Founder DDTC Darussalam membagikan pemikirannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebagai sosok yang telah menerbitkan 38 buku dan punya peran penting dalam memberikan sumbangsih pemikiran dalam dinamika sistem pajak Indonesia, Darussalam menyodorkan strategi fundamental bagi pemangku kepentingan untuk membawa sistem pajak ke arah yang lebih ideal.
Perbaikan-perbaikan di dalam sistem pajak nasional kita memang terus dilakukan. Hal itu perlu kita apresiasi. Namun, tolok ukur keberhasilan dari reformasi pajak bisa dilihat dari capaian tax ratio. Nyatanya, angkanya masih stagnan dalam satu dekade terakhir.
Angka tax ratio kita masih jauh di bawah rata-rata negara Asia Pasifik, sesuai dengan laporan OECD.
Saya melihat sistem pajak kita dihadapkan pada dua tantangan besar: globalisasi dan digitalisasi. Indonesia perlu beradaptasi dengan dua hal itu dalam hal proses bisnis dan kebijakan pajak. Kebijakan-kebijakan pajak perlu mengakomodoasi semua kepentingan, baik dari sisi otoritas atau wajib pajak.
Sistem pajak kita dihadapkan pada 4 masalah fundamental. Apa saja? Pertama, partisipasi publik yang belum optimal. Kedua, edukasi pajak yang belum inklusif. Ketiga, narasi kebijakan yang masih minim. Keempat, pengelolaan data yang menantang.
Kita bicarakan satu per satu. Pertama, masalah partisipasi publik, pajak pada dasarnya adalah kesepakatan antara masyarakat yang diwakili oleh DPR dan negara yang diwakili oleh pemerintah.
Pajak merupakan kontrak sosial antara pemerintah dan masyarakat yang merupakan wujud dari demokrasi representatif. Pajak merupakan sumber utama untuk membiayai keberadaan Republik Indonesia. Tanpa pajak kita tidak bisa melaksanakan pembangunan dan mensejahterakan masyarakat.
Karenanya, dalam menyusun desain sistem pajak, seyogianya pemerintah turut mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, target pembangunan ke depan, serta jaminan dukungan publik. Partisipasi publik Itulah wujud kontrak fiskal yang ideal.
Pemerintah perlu lebih mendengar suara wajib pajak dalam membuat sistem pajak. Kemauan untuk mendengar itu yang bisa menjaga stabilitas sistem pajak.
Yang harus diingat, dukungan publik itu sangat dibutuhkan untuk menjamin efektivitas sistem pajak. Tanpa mekanisme yang bersifat partisipatif, implementasi sistem pajak justru dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan publik.
Indonesia bisa berkaca pada sejarah yang terjadi di dunia ketika kepercayaan publik hilang. Kerusuhan di Prancis muncul karena penolakan kenaikan pajak bahan bakar yang diusulkan Presiden Macron. Atau melihat ke Inggris, saat Margaret Thatcher mundur pasca-adanya kerusuhan besar-besaran di London akibat rakyat yang menentang poll tax. Itu bisa jadi contoh.
Masalah fundamental kedua, masalah edukasi. Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih belum memahami pajak dengan tepat. Apa sih pajak? Gunanya apa? Kenapa kita harus bayar pajak? Bahkan, masih banyak menganggap pajak dari sisi negatif seperti upeti di jaman dulu.
Padahal, pajak ini sebetulnya adalah kebutuhan dan bukan hanya sekedar kewajiban bagi siapapun yang dikategorikan sebagai wajib pajak. Persoalannya, bagaimana pemerintah memungut pajak dengan optimal kalau masyarakatnya enggak teredukasi?
Kurangnya edukasi ini ujungnya apa? Bisa saja terjadi resistensi dari masyarakat terhadap setiap kebijakan pajak yang muncul.
Kalau melihat lagi sejarah dunia, sebetulnya penerapan pajak itu tidak pernah lepas dari resistensi. Berbagai pemberontakan muncul di banyak negara karena pemungutan pajak.
Pajak sendiri merupakan warisan sistem feodal yang tidak mengenal hak kepemilikan pribadi oleh rakyat. Oleh karenanya, pajak merupakan upeti yang dibayarkan oleh rakyat kepada penguasa sebagai balas jasa atas penggunaan hak milik negara oleh rakyat.
Di sinilah peran edukasi. Memberikan pemahaman kepada publik mengenai apa itu pajak? Apa bedanya pajak dengan upeti? Kenapa kita harus bayar pajak? Apa yang kita dapat dari pajak? Serta, kenapa pajak dibutuhkan?
Selanjutnya ketiga, masalah narasi kebijakan. Sampai saat ini pemerintah belum optimal dalam menarasikan setiap kebijakan yang ada. Narasi itu perlu diberikan sepanjang waktu, bukan cuma sebelum atau setelah sebuah kebijakan muncul.
Misalnya, menarasikan soal pemberian belanja pajak (tax expenditure) atau dengan kata lain insentif pajak. Saat ini, belanja pajak kita di tahun 2025 diproyeksikan menyentuh Rp530 triliun. Ini adalah fasilitas pembebasan pajak yang diberikan negara kepada masyarakat. Nah, masyarakat perlu diberi pengertian mengenai apa itu belanja pajak, untuk apa belanja pajak itu, serta kerelaan pemerintah tidak memungut pajak yang sebenarnya pemerintah bisa saja melakukan pemungutan pajak berdasarkan kelaziman di dunia.
Narasi kebijakan diperlukan agar masyarakat memiliki kepatuhan sukarela dalam menjalankan kewajibannya. Dalam konteks tax expenditure tadi, masyarakat pada akhirnya tahu bahwa ada 'kebaikan' yang diberikan oleh pemerintah untuk meringankan beban pajak masyarakat.
Jangan sampai insentif pajak atau potensi pajak yang hilang karena tidak dipungut, tidak ternarasikan dengan baik sehingga masyarakat tidak merasa ada insentif.
Masalah keempat, masalah data. Tantangannya menyangkut kemampuan kita dalam mengumpulkan data, memastikan validitasnya, sampai analisis dari data-data itu.
Indonesia tuh sebenarnya sudah banyak regulasi yang mengatur soal keterbukaan data. Misal ada undang-undang mengenai akses keuangan (UU 9/2017), serta undang-undang tax amnesty (UU 11/2016). Cuma data-data yang diperoleh dari adanya dua undang-undang tersebut itu mau diapakan? Persoalan kita sampai hari ini masih berkutat soal data.
Makanya pendekatan pajak kita masih selalu berkutat soal pemeriksaan dan SP2DK, karena menyangkut persoalan data yang sampai sat ini belum tuntas.
Saat ini, Indonesia itu masih saja menyasar pendekatan yang sifatnya enforced compliance melalui pemeriksaan yang ujung-ujungnya dapat bersifat konfrontatif. Padahal, tren di dunia sudah bergeser dari konfrontatif ke kolaboratif melalui pendekatan cooperative compliance. Serta, pergeseran pendekatan dari litigasi menjadi mitigasi. Kita masih berjalan di tempat. Ya, karena apa? Lagi-lagi masalah masih minimnya data.
Tentu ini menjadi tugas bersama pemerintah dan pemangku kepentingan pajak lainnya. Tanggungjawab tidak bisa diletakkan kepada intitusi pemerintah yang berwenang memungut pajak saja, tetapi juga institusi pemerintah yang menggunakan uang pajak. Tuntutan masyarakat adalah pemungutan pajak dilakukan dengan berkeadilan dan berkepastian serta gunakan uang pajak kami dengan bijak.
Yang terpenting, masalah fundamental itu dulu dibenahi. Bagaimana kita akan bisa membuat sistem pajak ideal, sementara masyarakat tidak terdukasi, kebijakan tidak ternarasikan dengan baik, kurangnya kesempatan untuk partisipasi publik, serta minimnya data?
Bersamaan dengan pemungutan pajak yang adil dan berkepastian serta distribusi uang pajak yang dirasakan oleh masyarakat, akan menjadikan pajak Indonesia siap lepas landas menjadi penopang utama pembiayaan negara Republik Indonesia tercinta. Semoga terwujud. (sap)