JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Hukum menilai RUU Perampasan Aset baru bisa dibahas jika pemerintah dan DPR sudah selesai membahas RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy) mengatakan KUHAP dan KUHPer diperlukan mengingat non-conviction based forfeiture dalam RUU Perampasan Aset membutuhkan hukum acara tersendiri.
"Non-conviction based forfeiture ini harus kita kelola karena dia bukan hukum acara pidana dan bukan hukum acara perdata. Jadi, dia kuasi acara pidana dan kuasi acara perdata sehingga harus membuat hukum acara tersendiri," katanya dalam rapat bersama Baleg DPR, Kamis (18/9/2025).
Apabila KUHAP dan KUHPer telah ditetapkan terlebih dahulu, lanjut Eddy, pemerintah dan DPR memiliki titik tengah untuk menentukan hukum acara dari pelaksanaan non-conviction based forfeiture berdasarkan RUU Perampasan Aset.
Meski masih memerlukan KUHAP dan KUHPer, pemerintah berkomitmen untuk turut membahas RUU Perampasan Aset bersama DPR dan memasukkan RUU dimaksud ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
"Kami setuju dengan Baleg bahwa ini kita mulai merintis dari 2025. Entah kapan selesainya, kita butuh meaningful participation," ujar Eddy.
Dalam prolegnas, KUHAP merupakan RUU usul inisiatif Komisi III DPR, sedangkan KUH Perdata merupaka RUU usul inisiatif pemerintah.
Sebagai informasi, RUU Perampasan Aset merupakan RUU usul inisiatif Komisi III DPR yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025. Namun, RUU ini juga masuk dalam Prolegnas Prioritas 2026 sebagai RUU luncuran 2025.
RUU luncuran 2025 dalam Prolegnas Prioritas 2026 merupakan RUU dalam Prolegnas Prioritas 2025 yang belum selesai dibahas pada tahun 2025.
Komisi-komisi di DPR didorong menyelesaikan RUU luncuran 2025 dalam Prolegnas Prioritas 2026 sebelum memulai pembahasan atas RUU-RUU yang merupakan usulan baru. (rig)