KEBIJAKAN PAJAK

Tantangan Kepastian Hukum dalam Rezim Antipenghindaran Pajak

Aurora K. M. Simanjuntak
Selasa, 16 September 2025 | 17.45 WIB
Tantangan Kepastian Hukum dalam Rezim Antipenghindaran Pajak
<p>Manager of DDTC Fiscal Research and Advisory Denny Vissaro (paling kiri).</p>

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah Indonesia masih perlu menyusun aturan teknis ketentuan antipenghindaran pajak (anti-avoidance rule) guna menutup kebocoran PPh akibat praktik pengalihan laba (profit shifting) yang dilakukan perusahaan multinasional.

Manager of DDTC Fiscal Research and Advisory Denny Vissaro mengatakan pemerintah telah menerbitkan beberapa ketentuan anti-avoidance rule. Dia menyebut terdapat 2 ketentuan teranyar yang telah diatur, yakni prinsip substance over form (general anti-avoidance rule/GAAR) dan pembandingan kinerja keuangan.

"GAAR tidak secara spesifik ada di UU PPh, hanya ada di bagian penjelasan Pasal 18 UU PPh. Adapun GAAR maupun pembandingan kinerja keuangan sama-sama peraturan turunannya masih belum ada," katanya dalam Update Kebijakan Perpajakan Terkini: Menyongsong Optimalisasi Penerimaan Negara di Era Pemerintahan Baru, Selasa (16/9/2025).

Denny mengibaratkan GAAR seperti obat generik di dunia farmasi. GAAR merupakan ketentuan antipenghindaran pajak yang secara umum bertujuan mencegah transaksi yang semata-mata berorientasi untuk penghindaran pajak atau transaksi yang tidak memiliki substansi bisnis.

Dia menyampaikan prinsip GAAR dimuat dalam Pasal 44 PP 55/2022. Melalui beleid itu, pemerintah berwenang mencegah praktik penghindaran pajak sebagai upaya yang dilakukan oleh wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang.

Regulasi tersebut menitikberatkan pada motif wajib pajak. Jika motif wajib pajak mengurangi atau menunda pajak maka bisa dihitung kembali nilai yang seharusnya terutang oleh wajib pajak tersebut, walaupun skema transaksinya benar dan tidak menyalahi ketentuan pajak.

"Jadi, sasarannya adalah motif. Kita menguji motif, bagaimana suatu transaksi atau model bisnis itu dilakukan karena motifnya adalah menghindari pajak. Kita benar-benar ingin mencoba membatalkan sesuatu yang menyalahi spirit dari ketentuan peraturan, tapi sayangnya saat ini belum ada ketentuan teknisnya," ujar Denny.

Berdasarkan Pasal 44 ayat (1) PP 55/2022, lanjut Denny, pelaksanaan GAAR perlu memperhatikan 5 aspek. Pertama, batasan kewenangan dan prosedur pelaksanaannya.

Kedua, kegiatan yang dilakukan wajib pajak masuk dalam cakupan penghindaran pajak. Ketiga, tahapan pengujian formil dan materiil. Keempat, mekanisme penjamin kualitas. Kelima, perlindungan hak wajib pajak.

"Kita nantikan ketentuan peraturan turunannya seperti apa. Karena Pasal 44 ayat (2) PP 55/2022 ini menarik, disebutkan pencegahan pada ayat (1) dilaksanakan dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan wajib pajak tetap dapat melakukan upaya penyelesaian sengketa," kata Denny.

Terkait dengan pembandingan kinerja keuangan usaha sejenis, Denny menyampaikan PP 55/2022 mengatur apabila suatu perusahaan dalam 5 tahun terakhir mengalami kerugian 3 tahun berturut-turut maka otoritas pajak berwenang membandingkannya dengan perusahaan sejenis yang lain.

Dia menerangkan prinsip tersebut dipakai sebagai dasar untuk mengecek kewajaran keuntungan suatu perusahaan—yang misal mengeklaim rugi 3 tahun beruntun, tetapi malah terus berekspansi—dengan membandingkannya dengan perusahaan yang sejenis.

"Jadi, kita bandingkan dengan perusahaan sejenis yang beda performa keuangan. Ini menjadi dasar untuk menentukan perusahaan yang rugi ini, keuntungan wajarnya berapa," tutur Denny.

Namun, pemerintah belum menerbitkan peraturan teknis prinsip tersebut. Sambil menunggu aturan teknis tersebut, Denny menyarankan satu hal penting kepada wajib pajak badan, yaitu meluruskan motifnya ketika mendirikan bisnis dan mematuhi regulasi yang ada di Indonesia.

Kemudian, ketika merugi, kerugiannya terjadi akibat kesalahan finansial bukan profit shifting. Salah satu langkah yang bisa dilakukan ialah membuat Tax Control Framework (TCF).

Dengan TCF, wajib pajak dapat menunjukkan kepada otoritas pajak tentang bagaimana wajib pajak melakukan kontrol atas perhitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak, serta bagaimana wajib pajak memperbaiki kekeliruan yang mungkin timbul karena lemahnya sistem kontrol internal.

Lebih lanjut, Denny juga mengungkapkan potensi penerimaan PPh Badan di Indonesia yang hilang akibat praktik profit shifting. Berdasarkan riset Ludvig Wier and Gabriel Zucman, potensi penerimaan pajak yang hilang Indonesia diperkirakan mencapai 10,3% penerimaan PPh badan atau sekitar Rp35 triliun pada 2020 akibat praktik profit shifting.

Dia memperlihatkan praktik profit shifting belum berhasil dicegah sepenuhnya, meski sudah ada berbagai instrumen pencegahan penghindaran pajak, seperti transfer pricing rule, pembatasan biaya bunga, CFC rule, anti-treaty shopping, dan lain sebagainya.

"Dengan struktur penerimaan pajak kita yang didominasi PPN, disusul PPh Badan dan PPh orang pribadi, kita cukup terpukul dengan adanya profit shifting ini," ujarnya. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.