HARI OLAHRAGA NASIONAL

Hari Olahraga Nasional, Bagaimana Perlakuan Pajak untuk Atlet?

Redaksi DDTCNews
Selasa, 09 September 2025 | 16.00 WIB
Hari Olahraga Nasional, Bagaimana Perlakuan Pajak untuk Atlet?
<p>Ilustrasi.&nbsp;Atlet panjat tebing berusaha memanjat saat mengikuti kejuaraan panjat tebing tingkat pelajar seri 3 Jawa Tengah kategori Boulder di kompleks BPBD Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (7/9/2024). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/YU</p>

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah telah menetapkan 9 September sebagai Hari Olahraga Nasional (Haornas).

Tanggal ini menandai sejarah bangsa Indonesia yang hendak mengikuti Olimpiade pertamanya di London, Inggris, pada 1948. Sayangnya, atlet Indonesia ditolak mengikuti olimpiade karena negara ini belum diakui secara luas.

Ketua Komite Olimpiade Indonesia pada saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, bersama dengan Persatuan Olahraga Republik Indonesia yang kini dikenal sebagai Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), kemudian menginisiasi Pekan Olahraga Nasional (PON) pada 9 September 1948 di Solo.

Melalui Keppres 67/1985, Presiden Soeharto lantas menetapkan 9 September sebagai Hari Olahraga Nasional.

"Hari Olahraga Nasional ... bukan merupakan hari libur," bunyi Pasal 1 ayat (2) Keppres 67/1985, dikutip pada Selasa (9/9/2025).

Dalam pertimbangannya, disebutkan penetapan Haornas menjadi langkah awal gerakan untuk memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat. Selain itu, Haornas juga bertujuan peningkatan, pembinaan, dan perkembangan olahraga secara berlanjut.

Setelah beberapa dekade, olahraga di Indonesia sudah banyak berkembang. PON masih rutin digelar, serta Indonesia telah berpartisipasi dalam olimpiade sejak 1952, bahkan beberapa kali membawa pulang medali emas.

Ada banyak sekali profesi yang terlibat di sektor olahraga, termasuk olahragawan atau atlet. Dalam lingkup pajak, atlet juga memiliki hak dan kewajiban sebagai wajib pajak.

Hak atlet yang dijamin dalam ketentuan perundang-undangan pajak antara lain hak mendapatkan pengarahan dari fiskus; hak untuk membetulkan SPT; hak untuk dapat memperpanjang waktu penyampaian SPT; hak untuk dijaga kerahasiaan sebagai wajib pajak; hak untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak; hak untuk memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak; serta hak untuk melakukan upaya hukum berupa pengajuan keberatan dan banding.

Sementara itu, kewajiban atlet sebagai wajib pajak yaitu wajib mendaftarkan diri ke kantor pelayanan pajak (KPP) supaya diberikan nomor pokok wajib pajak (NPWP); wajib mengisi dan menyampaikan SPT; wajib memenuhi panggilan untuk menghadiri pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan; serta wajib memberikan data yang berkaitan dengan perpajakan.

Ada beberapa jenis penghasilan yang dapat diterima atlet, yaitu dari pekerja bebas; ajang atau kompetisi olahraga; serta honorarium selama masa pelatihan. Atas penghasilan yang diterima atlet tersebut, perlu diperhatikan perlakuan pajak yang berlaku.

Penghasilan atlet umumnya berasal dari pekerjaan bebas, tetapi tidak menutup kemungkinan bila seorang olahragawan atau atlet juga memperoleh penghasilan dari sebuah usaha atau kegiatan lainnya. Seorang atlet yang melakukan pekerjaan bebas tidak diperbolehkan untuk menghitung pajak penghasilan (PPh) sesuai PP 55/2022 sekalipun penghasilan brutonya tidak mencapai Rp4,8 miliar.

Akan tetapi, seorang atlet diperbolehkan untuk menggunakan metode perhitungan penghasilan neto dengan norma atau biasa disebut norma penghitungan penghasilan neto (NPPN). Selain itu, atlet juga diperbolehkan melakukan metode pencatatan.

Berdasarkan PER-17/2015, diatur bahwa olahragawan, juri, dan wasit profesional memiliki persentase NPPN sebesar 35% untuk 10 wilayah ibu kota provinsi, 32,5% untuk ibu kota provinsi lainnya, dan 31,5% untuk daerah lainnya.

Untuk menghitung PPh terutang dengan NPPN, langkah pertama yang dilakukan yaitu menghitung penghasilan neto bagi atlet yang melakukan pencatatan. Penghasilan neto dapat dihitung dengan menggunakan rumus penghasilan bruto dikalikan norma.

Apabila penghasilan neto telah diketahui, maka langkah selanjutnya yaitu menghitung penghasilan kena pajak. Rumusnya adalah penghasilan neto dikurangi penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Kemudian, langkah terakhir yaitu menghitung PPh terutang dengan rumus tarif Pasal 17 dikalikan penghasilan kena pajak.

Sementara itu, bila seorang atlet menerima penghasilan dari sebuah ajang atau kompetisi olahraga, penghasilannya dapat dikategorikan sebagai penghasilan sehubungan dengan peserta kegiatan. Berdasarkan Pasal 3 huruf f PER-16/2016, penghasilan atas peserta kegiatan merupakan objek PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.

Adapun jika penghasilan yang diperoleh atlet adalah berupa honor selama masa pelatihan, Pasal 5 ayat (1) huruf e PER-16/2016 telah mengategorikan honorarium sebagai imbalan kepada bukan pegawai sebagai imbalan sehubungan jasa yang dilakukan. Imbalan tersebut merupakan objek penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21. (dik)

Editor : Dian Kurniati
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.