KEBIJAKAN PAJAK DAERAH

Kemendagri Klaim Tak Pernah Paksakan Penerapan PBB Tarif Tunggal

Muhamad Wildan
Rabu, 27 Agustus 2025 | 09.00 WIB
Kemendagri Klaim Tak Pernah Paksakan Penerapan PBB Tarif Tunggal
<table style="width:100%"> <tbody> <tr> <td> <p>Ilustrasi.</p> </td> </tr> </tbody> </table>

JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan tidak pernah memaksa pemerintah daerah (pemda) untuk menerapkan sistem pajak bumi dan bangunan (PBB) dengan tarif tunggal.

Plh Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Horas Maurits Panjaitan mengatakan pihaknya hanya mendorong penerapan tarif tunggal demi menciptakan efisiensi dan kesederhanaan regulasi.

"Hasil evaluasi dari Kemendagri memang bukan bertujuan membuat single tariff, tetapi dalam dalam rangka efektivitas, efisiensi, dan simplifikasi," ujar Maurits dalam rapat bersama Komisi II DPR, dikutip pada Rabu (27/8/2025).

Menurut Maurits, Pasal 41 UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) telah mengatur bahwa pemkab/pemkot berwenang mengenakan PBB dengan tarif maksimal sebesar 0,5%.

Dalam hal pemkab/pemkot hendak memberikan perlakuan pajak yang berbeda untuk objek-objek PBB dengan nilai jual objek pajak (NJOP) tertentu, pemda memiliki keleluasaan untuk menetapkan bagian NJOP yang digunakan untuk menghitung PBB.

Sesuai dengan Pasal 40 ayat (5) UU HKPD dan Pasal 13 Peraturan Pemerintah (PP) 35/2023, NJOP yang digunakan untuk menghitung PBB adalah 20% hingga 100% dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak. Bagian NJOP yang digunakan untuk menghitung PBB ditetapkan melalui peraturan kepala daerah.

"Ketika hendak membuat klasterisasi, klaster NJOP dibuatkan persentasenya diatur dengan peraturan kepala daerah. Ini sejalan dengan Pasal 13 PP 35/2023," ujar Maurits.

Dalam Pasal 13 ayat (2) PP 35/2023, telah ditegaskan bahwa persentase NJOP yang digunakan untuk menghitung PBB suatu kelompok objek pajak dilakukan dengan mempertimbangkan kenaikan NJOP hasil penilaian.

Misal, dalam hal penilaian objek pajak menghasilkan kenaikan NJOP yang signifikan, pemda bisa mengurangi persentase NJOP yang menjadi dasar untuk menghitung PBB.

Tak hanya itu, pemda juga berhak memberlakukan persentase NJOP yang berbeda tergantung pada pemanfaatan objek. Contoh, persentase NJOP untuk menghitung PBB rumah bisa ditetapkan lebih rendah dibandingkan dengan persentase NJOP untuk menghitung PBB bangunan yang memiliki fungsi komersial.

Terakhir, pemda dapat memberlakukan persentase NJOP yang berbeda berdasarkan pada klasterisasi dalam satu wilayah kabupaten/kota.

Sebagai informasi, Komisi II DPR menuding Kemendagri telah memaksa pemkab/pemkot untuk memberlakukan PBB dengan tarif tunggal dan melarang pemberlakuan multitarif.

Anggota Komisi II DPR Mohammad Khozin mengatakan selama ini ada ancaman bagi pemda yang tidak melaksanakan hasil evaluasi Kemendagri atas perda pajak daerah dan retribusi daerah.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UU HKPD, pemda yang tidak mengubah perda pajak daerah sesuai dengan evaluasi Kemendagri bisa dikenai sanksi berupa penundaan ataupun pemotongan dana alokasi umum dan dana bagi hasil.

"Mereka takut ketika mengusulkan penggunaan skema multitarif. Ancamannya ngeri, DAU nanti di-freeze, DBH akan dibekukan," ujar Khozin. (dik)

Editor : Dian Kurniati
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.