SEJARAH PAJAK INDONESIA

Wah! Indonesia Sempat Kenakan Pajak atas Opium, Seperti Apa?

Redaksi DDTCNews
Minggu, 06 April 2025 | 14.00 WIB
Wah! Indonesia Sempat Kenakan Pajak atas Opium, Seperti Apa?

A poppy field in the flowering stage in eastern Shan state, Myanmar. (foto: PBB)

JAKARTA, DDTCNews - Pada 1830, Belanda berhasil memenangkan Perang Jawa. Kemenangan ini membuat Belanda menguasai sepenuhnya Pulau Jawa. Namun, di lain sisi, perang ini mengakibatkan pengeluaran anggaran militer yang berlebihan sehingga Belanda terus mengalami defisit keuangan. 

Dalam upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah kolonial Belanda menerapkan tanam paksa atau cultuurstelsel. Untuk mendukung berjalannya sistem tanam paksa, Belanda turut meluncurkan sistem sewa pajak. 

Menurut buku Politik Perpajakan Kolonial di Indonesia: Antara Eksploitasi dan Resistensi yang ditulis oleh Abdul Wahid, sewa pajak yang paling menguntungkan adalah sewa pajak besar yang objek pajaknya adalah opium. Sewa pajak opium dikenal dengan nama opiumpacht

Perluasan operasi sistem sewa pajak dapat dengan mudah dilakukan Belanda, karena penguasaan Belanda terhadap Pulau Jawa pasca Perang Jawa menjadi menyeluruh, meliputi seluruh Jawa. Hasilnya, pada 1836–1875, sewa pajak menjadi sumber pendapatan tambahan paling penting bagi keberlangsungan finansial sistem tanam paksa. 

Apa Itu Opium? Bagaimana Kegunaannya di Masa Kolonial Belanda?

Termuat dalam lampiran daftar narkotika golongan I Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) 7/2018, opium mentah didefinisikan sebagai getah membeku yang diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L dengan atau tanpa mengalami pengolahan. 

Kemudian, untuk produk opium (opium masak) terdiri dari candu, juicing, dan jicingko. Dalam bahasa sehari-hari masa kolonial Belanda, kata candu dalam bahasa Jawa sering merujuk pada semua jenis opium, tanpa membedakan kualitasnya. 

Pada masa kolonial, opium siap pakai dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan kualitasnya. Pertama, tiban atau cako, yang merupakan jenis opium kualitas terbaik yang dijual dengan harga tertinggi dan biasanya hanya mampu dibeli oleh warga etnis China elit dan para priyayi. Kedua, siram atau cakat, merupakan opium kualitas kedua dan paling umum di kalangan penduduk China dan Jawa. 

Sejak awal abad-19, merokok opium telah menjadi kebiasaan seluruh lapisan masyarakat, baik di kota maupun pedesaan. Di kalangan orang kaya, opium dikonsumsi sebagai sarana rekreasi dan sajian untuk tamu penting pada acara atau upacara khusus. Sedangkan pada kalangan rakyat kecil, opium digunakan untuk obat berbagai macam penyakit. Selain itu opium juga sering digunakan buruh Jawa sebagai stimulan dalam keadaan mendesak. 

Cara Kerja dan Sewa Pajak Opium

Pada pertengahan abad ke-19, pemberlakuan sewa pajak opium telah terlaksana di seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasaan Belanda, kecuali untuk wilayah-wilayah seperti Banten, Priangan, dan beberapa wilayah dengan pengaruh Islam atau penguasa lokal yang menentang penggunaan opium. 

Untuk memperoleh opium, Belanda harus melakukan impor dari Turki, Bengal, dan India. Perusahaan Dagang Belanda memonopoli kegiatan impor ini sehingga mampu mengatur kegiatan sewa pajak opium. Aturan mengenai sewa pajak opium tertuang dalam Opium Ordonansi tahun 1833 yang kemudian direvisi beberapa kali. 

Dalam mekanismenya, pemungutan pajak opium akan diberikan kepada pihak ketiga yang memenangkan lisensi pemungutan melalui lelang. Hanya agen-agen terpilihlah yang memiliki hak sewa pajak dan termasuk di dalamnya berhak mengolah, mendistribusi, menjual, dan menyediakan tempat-tempat untuk mengonsumsi opium (pondok opium/opiumkitten). 

Pemenang pelelangan biasanya adalah golongan pengusaha-pengusaha elit China. Guna memastikan kemenangan hak monopolinya, pengusaha-pengusaha tersebut membentuk kemitraan yang umumnya disebut kongsi. 

Dari sisi pemerintah, untuk memastikan tersetornya pembayaran pachtsom (hasil pajak opium), pemerintah Belanda mewajibkan para patchers untuk memiliki setidaknya 2 penjamin resmi. Selain itu, dalam proses mempersiapkan lelang, pemerintah Belanda juga terus mengawasi dan mengumpulkan informasi mengenai kinerja kongsi-kongsi yang terlibat. 

Setelah lelang selesai, pemenang akan menandatangani kontrak dengan pemerintah. Kontrak tersebut mencakup 3 hal utama, yaitu hak eksklusif untuk mendistribusikan opium di wilayah tertentu, jangka waktu kontrak (1 sampai 3 tahun), dan rincian harga yang terdiri dari harga sewa pajak serta biaya pembelian opium.

Dalam pelaksanaan perpajakan opium, kongsi pemenang biasanya akan membagi area wilayahnya menjadi lebih kecil dan menyewakannya kepada penyewa bawahan dengan ikatan perjanjian formal. 

Alasan Dihentikannya Sewa Pajak Opium

Sebagian besar penerimaan dari sewa pajak opium berasal dari operasional wilayah Jawa dan Madura yang meningkat cukup pesat dari abad ke abad. Selama 3 dekade terakhir abad ke-19, sewa pajak opium menyumbang lebih dari setengah total kas negara, yaitu 532 juta gulden dari 934,8 gulden. 

Pada 1870-an, pertimbangan moral terkait konsumsi opium mulai membayangi proses bisnis opium. Karena sudah menjadi kebiasaan selama berabad-abad, upaya mengurangi konsumsi opium dinilai menjadi hal yang mustahil.

Hal ini didukung oleh ketidakseriusan Belanda dalam mengatasi masalah ini. Sebaliknya, pemerintah malah ingin memanfaatkan budaya merokok opium tersebut secara finansial. Tak bisa lepasnya masyarakat dari konsumsi opium juga menyebabkan turunnya kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Mereka kerap membelanjakan hampir setengah upahnya untuk merokok opium. 

Selanjutnya, terjadinya kriminalitas dan kerusuhan sosial antara penyewa pajak China dan pemerintah Belanda. Konflik antara penyewa pajak China sendiri juga ikut memperburuk situasi.

Masifnya penyelundupan opium ilegal turut menggerogoti sistem sewa pajak opium. Banyak kios pegadaian, tempat penyembelihan ternak, atau rumah judi yang dijadikan saluran untuk mengedarkan opium ilegal. Bahkan, pemerintah Belanda meyakini bahwa para penyelundup menyuplai lebih dari setengah jumlah opium yang beredar di Nusantara. Sayangnya, Belanda sendiri pun tidak mampu melawan keadaan tersebut. 

Tidak terbatasnya jumlah opium yang beredar akibat penyelundupan mendukung pola konsumsi masyarakat yang tidak terkendali. Situasi ini kemudian juga berhubungan dengan menurunnya kualitas hidup masyarakat. Penyelundupan juga membuat sebagian besar keuntungan opium masuk ke kantong penyelundup dan bukan ke kas negara. 

Pengawasan pemerintah Belanda yang tidak memadai juga memberikan keleluasaan para patchers untuk mengakali peraturan bisnis opium. Dalam jangka panjang, situasi ini menjadi lahan subur bagi tindak korupsi, suap, dan kolusi. Hal-hal menyulitkan ini lah yang menjadi justifikasi pemerintah Belanda secara bertahap menghapuskan sistem pajak opium dan menggantinya dengan sistem regie atau monopoli negara. (Syallom Aprinta Cahya Prasdani/sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.