TAXPLORE UI 2024

Ingin Bentuk BPN, Pemerintah Tak Bisa Hanya Fokus ke Tax Ratio

Muhamad Wildan
Kamis, 03 Oktober 2024 | 12.45 WIB
Ingin Bentuk BPN, Pemerintah Tak Bisa Hanya Fokus ke Tax Ratio

Founder DDTC Darussalam (kedua dari kanan) dalam seminar bertajuk Pembentukan Badan Penerimaan Negara: Mampukah Mendukung Penegakan Hak-Hak Wajib Pajak? yang digelar oleh Kelompok Studi Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (KOSTAF FIA UI), Kamis (3/10/2024).

JAKARTA, DDTCNews - Badan Penerimaan Negara (BPN) perlu dibentuk dengan turut menekankan pada jaminan terhadap perlindungan hak-hak wajib pajak, bukan semata-mata optimalisasi penerimaan negara.

Founder DDTC Darussalam mengatakan selama ini perbincangan publik terkait pembentukan BPN hanya berfokus pada peningkatan tax ratio.

"Yang selalu kita dengar adalah dari sudut pandangan pemerintah dan kita lupa stakeholder yang lain adalah sudut pandang wajib pajak. Bagaimana dengan posisi wajib pajak?," ujar Darussalam dalam seminar bertajuk Pembentukan Badan Penerimaan Negara: Mampukah Mendukung Penegakan Hak-Hak Wajib Pajak? yang digelar oleh Kelompok Studi Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (KOSTAF FIA UI), Kamis (3/10/2024).

Agar terdapat keterwakilan wajib pajak dalam setiap kebijakan yang diambil oleh BPN, Darussalam berpandangan BPN harus menerapkan sistem kepemimpinan kolektif. BPN perlu dipimpin oleh board of directors (BOD) yang di dalamnya terdapat perwakilan dari pemerintah, wajib pajak, pelaku usaha, hingga akademisi.

"Untuk menjaga keseimbangan, harusnya dia kolektif. Ada wakil dari asosiasi usaha, wakil dari akademisi, wakil dari pemerintah juga ada. Jadi ada kepemimpinan kolektif seperti KPK," ujar Darussalam.

DI banyak negara, pemisahan otoritas perpajakan dari kementerian keuangan bakal menghasilkan suatu lembaga baru yang sangat powerful. Oleh karena itu, diperlukan lembaga-lembaga lain yang dibentuk sebagai penyeimbang dari BPN.

Setelah BPN terbentuk, diperlukan pembentukan tax ombudsman, tax policy unit, dan pengadilan pajak sebagai penyeimbang. Ketiga lembaga ini diperlukan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak wajib pajak.

Kehadiran tax ombudsman diperlukan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak wajib pajak dalam hal terdapat misconduct oleh BPN. Dari total 42 negara yang disurvei oleh IBFD, 25 di antaranya sudah memiliki tax ombudsman. Lebih lanjut, tax ombudsman di 19 negara adalah lembaga yang independen.

Agar tax ombudsman benar-benar mewakili wajib pajak dan memberikan perlindungan terhadap hak wajib pajak, tax ombudsman tidak boleh berada di dalam struktur pemerintahan.

Saat ini, Indonesia sudah memiliki Komwasjak. Namun, lembaga tersebut masih berada di bawah Kemenkeu. "Kalau kita lihat PMK terkait Komwasjak, dia dibentuk untuk membantu menteri keuangan. Jadi sampai saat ini secara legal lembaga yang mewakili wajib pajak itu belum ada di Indonesia," ujar Darussalam.

Oleh karena itu, bila BPN memang dibentuk oleh pemerintahan berikutnya, Komwasjak harus diangkat statusnya menjadi lembaga yang independen dan tidak berada di bawah Kemenkeu.

Lebih lanjut, kehadiran tax policy unit diperlukan dalam rangka menciptakan mekanisme check and balance antara perumus kebijakan pajak dan administrator pajak.

"Bila BPN ini betul-betul ada, harus ada lembaga di Kemenkeu yang memang diberikan kewenangan mutlak dan penuh untuk membuat aturan-aturan. Aturan itu dieksekusi oleh lembaga administrasi perpajakan bernama BPN," ujar Darussalam.

Terakhir, pengadilan pajak yang kredibel dibutuhkan untuk menjamin tersedianya hak bagi untuk mencari keadilan secara efektif, efisien, dan berkepastian. 

Menurut Darussalam, pengadilan pajak seharusnya diisi oleh hakim-hakim yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan sengketa antara otoritas dan wajib pajak dengan baik.

"Ini mumpung pengadilan pajak akan berpisah dari Kemenkeu. Bagaimana nanti? Apakah ketika ditempatkan di Mahkamah Agung (MA) itu bisa mencerminkan sebagai lembaga yang memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan masalah? Hakim di pengadilan pajak harusnya lebih pintar dari otoritas pajak, dari konsultan pajak, dari akademisi, dan dari kita-kita," ujar Darussalam. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.