Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) harus diberikan dalam pembuatan bukti pemotongan (bupot) 21/26 serta bukti pemotongan/pemungutan (pot/put) unifikasi instansi pemerintah.
Pemberian informasi identitas berupa NPWP itu berlaku jika pihak yang dipotong dan/atau dipungut merupakan wajib pajak dalam negeri. Dalam aturan sebelumnya, masih ada 2 skema, yakni NPWP atau Nomor Induk Kependudukan (bagi orang pribadi yang tidak memiliki NPWP).
“… pihak yang dipotong dan/atau dipungut harus memberikan informasi identitas berupa NPWP, bagi wajib pajak dalam negeri,” bunyi penggalan Pasal 8 ayat (1) huruf a PER-17/PJ/2021 s.t.d.d PER-5/PJ/2024, dikutip pada Rabu (22/5/2024).
Hal ini sejalan dengan penegasan Ditjen Pajak (DJP) sebelumnya melalui PENG-6/PJ.09/2024. Berdasarkan pada pengumuman tersebut, terhitung mulai masa pajak Januari 2024, format NPWP yang digunakan dalam administrasi perpajakan yaitu:
Jika identitas penerima penghasilan diisi dengan NIK yang telah diadministrasikan oleh Ditjen Dukcapil serta telah terintegrasi dengan sistem administrasi DJP, tarif lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) UU PPh tidak dikenakan.
Adapun jadwal implementasi penuh penggunaan NIK sebagai NPWP atau NPWP 16 digit mundur dari semula 1 Januari 2024 menjadi 1 Juli 2024 seiring dengan diterbitkannya PMK 136/2023 yang mengubah PMK 112/2022.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) huruf b PER-17/PJ/2021 s.t.d.d PER-5/PJ/2024, jika pihak yang dipotong dan/atau dipungut merupakan wajib pajak luar negeri, informasi identitas yang harus diberikan adalah tax identification number atau identitas perpajakan lainnya.
Jika menerapkan ketentuan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B), wajib pajak luar negeri dimaksud harus memberikan surat keterangan domisili (SKD) dan/atau tanda terima SKD kepada pemotong/pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (kaw)