JAKARTA, DDTCNews – Penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan menjadi salah satu agenda reformasi perpajakan di sejumlah negara. Namun, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meyakinkan tak akan menurunkan tarif hanya untuk mengikuti tren yang tengah terjadi.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Adriyanto menegaskan, banyak hal yang akan dipertimbangkan dalam mengubah kebijakan tarif pajak di dalam negeri. Terutama, kepercayaan masyarakat terhadap Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan kepatuhan wajib pajak.
"Kami tidak akan menurunkan tarif PPh kalau tujuannya tarif war. Sampai sekarang pun Kemenkeu melihat belum adanya rencana untuk penurunan tarif PPh," jelas Adrianto, Selasa (12/12).
Reformasi pajak di Amerika Serikat (AS) yang paling banyak dicermati. Presiden Donald Trump berniat memangkas tarif pajak korporasinya. Negara tetangga Malaysia tengah kaji penurunan tarif PPh badan sampai ke angka 15%, dari saat ini 24%. Tarif PPh Badan Vietnam akan diturunkan dari 20% menjadi 17%, setelah sebelumnya 22%.
Oleh karena itu, lanjut Adrianto, saat ini pemerintah masih berupaya melakukan penguatan pada Ditjen Pajak untuk meningkatkan keyakinan masyarakat. Dalam agenda reformasi pajak, pemerintah berkomitmen meningkatkan kualitas sumber daya manusia hingga sistem informasi dan teknologi untuk mendukung perbaikan pelayanan pajak.
Adriyanto memastikan, jika kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas Ditjen Pajak meningkat maka penurunan tarif pajak di yang dilakukan di negara-negara lain tidak akan berpengaruh besar.
"Seberapa besar pun pengurangan tarif itu sebetulnya pengaruhnya akan kecil dibandingkan kalau trust ke institusi pajak sangat besar. Jadi sampai sekarang pun kami belum lihat pengurangan PPh jadi solusi. Pelayanan pajak dan kepastian aturan pajak lebih penting bagi mereka (korporasi)," jelas Adriyanto.
Chief Economist SKHA Institute of Global Competitiveness (SIGC) Eric Sugandi mendukung pemerintah tak ikut perang tarif PPh. Pasalnya, penurunan tarif belum tentu mendukung peningkatan iklim investasi.
Eric menegaskan pajak hanyalah salah satu faktor yang mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modalnya di wilayah tersebut. Faktor yang lebih berpengaruh antara lain daya beli masyarakat, kondisi keamanan dan politik, infrastruktur, hingga ketersediaan energi serta bahan baku.
"Memotong tarif pajak korporasi di Indonesia tidak serta merta mendorong pertumbuhan investasi jika daya beli masyarakat masih lemah," tandasnya. (Amu)