PMK 153/2020

Ternyata Ini Alasan PMK Insentif Pajak Litbang Dirilis Paling Akhir

Redaksi DDTCNews
Senin, 26 Oktober 2020 | 15.04 WIB
Ternyata Ini Alasan PMK Insentif Pajak Litbang Dirilis Paling Akhir

Analis Kebijakan Madya Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Syarif Ibrahim Busono Adi saat memaparkan materi dalam sosialisasi PMK 153/2020, Senin (26/10/2020).

JAKARTA, DDTCNews – Peraturan menteri keuangan (PMK) mengenai insentif pajak super deduction kegiatan penelitian dan pengembangan (Litbang) muncul paling akhir. Hal tersebut dikarenakan banyaknya aspek yang dipertimbangkan.

Analis Kebijakan Madya Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Syarif Ibrahim Busono Adi mengatakan sejumlah pertimbangan dimaksudkan untuk menjamin keseimbangan antara pemberian insentif pajak yang tepat sasaran dan keberlangsungan penerimaan negara.

"Tantangan super deduction Litbang agar tepat sasaran ini meningkatkan jumlah pendaftaran paten di dalam negeri dan bisa mengurangi devisa keluar karena pembayaran Intellectual Property Rights (IPR)," katanya dalam sosialisasi daring Kemenperin mengenai PMK 153/2020, Senin (26/10/2020).

Ibrahim memaparkan pendaftaran hak kekayaan intelektual baru berupa paten di Indonesia pada periode 2009-2018 masih sekitar 1.500. Angka tersebut tertinggal dari capaian Malaysia pada periode sama dengan pendaftaran sekitar 2.000 paten.

Pendaftaran paten baru di Singapura yang pada 2018 juga tercatat lebih dari 5.000. Sementara itu, negara seperti Jepang mencatatkan lebih dari 400.000 pendaftaran paten baru. Pada tahun yang sama, China mencatatkan 1,5 juta pendaftaran paten baru.

Agenda untuk menjamin insentif pajak yang tepat sasaran juga dihadapkan pada tantangan untuk menekan devisa keluar karena pembayaran IPR ke luar negeri. Menurutnya, Indonesia masih menjadi negara net importer IPR.

Kondisi tersebut terlihat dari performa pada 2018. Pembayaran IPR ke luar negeri tercatat mencapai US$1,9 miliar. Sementara itu, ekspor pemanfaatan IPR pada tahun yang sama hanya mencapai US$50 juta.

"Jadi, devisa keluar karena pembayaran IPR seperti royalti itu masih besar dan ekspornya masih kecil dan cenderung stagnan di angka US$50 juta-US$60 juta," terangnya.

Oleh karena itu, desain kebijakan dirumuskan secara hati-hati untuk menjamin insentif tepat sasaran dengan indikator makin baiknya kinerja pendaftaran paten baru dan berkurangnya nilai impor IPR.

Salah satu contoh kebijakan untuk menjaga keseimbangan antara pemberian insentif tepat sasaran dan kesinambungan penerimaan negara adalah ketentuan pengurangan penghasilan bruto yang dibuat berjenjang. Tidak semua bisa bisa diklaim dalam satu tahun pajak yang sama. Simak artikel ‘Ini Maksimal Pembebanan Pengurangan Penghasilan Bruto Tiap Tahun Pajak’.

Selain itu, pemberian skema insentif juga dibuat secara berjenjang. Pada tahap pertama pelaku usaha yang memanfaatkan insentif diberikan pengurangan penghasilan bruto sebesar 100% dari biaya riil kegiatan Litbang.

Kemudian, tambahan pengurangan sebesar 200% bisa dimanfaatkan jika memenuhi empat kriteria utama. Pertama, tambahan diskon 50% jika hasil Litbang menghasilkan IPR yang didaftarkan di dalam negeri.

Kedua, tambahan 25% jika hasil Litbang menghasilkan paten yang didaftarkan di luar negeri. Untuk memenuhi syarat kedua ini paten yang berada di luar negeri harus memiliki keterkaitan dengan paten yang terdaftar di dalam negeri.

Ketiga, tambahan pengurang penghasilan bruto sebesar 100% jika hasil paten sudah mencapai tahap komersialisasi. Keempat, tambahan diskon 25% jika hasil Litbang berupa paten dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga Litbang pemerintah atau lembaga pendidikan tinggi di Indonesia.

"Jadi kebijakan super deduction secara gradasi dan jumlah pengurang yang dapat dimanfaatkan setiap tahun paling tinggi 40% menjadi cara pemerintah untuk memastikan kebijakan tepat sasaran dan menjaga kesinambungan kebijakan fiskal," imbuhnya. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.