SIMPOSIUM NASIONAL PERPAJAKAN IX

Riset Pajak Masih Dihadapkan Tantangan, Tapi Peluangnya Luas

Redaksi DDTCNews
Kamis, 30 November 2023 | 16.33 WIB
Riset Pajak Masih Dihadapkan Tantangan, Tapi Peluangnya Luas

Director of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji dalam Simposium Nasional Perpajakan IX, Kamis (30/11/2023).

BANGKALAN, DDTCNews - Penelitian atau riset bidang perpajakan di Indonesia masih perlu dioptimalkan. Hasil dari riset pajak inilah yang nantinya bisa menjadi pihakan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan-kebijakan pajak yang ideal. Jika ditelaah, ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh periset atau akademisi dalam menjalankan penelitian perpajakan. 

Director of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengungkapkan, pada prinsipnya riset perlu didahului dengan edukasi pajak. Sayangnya, selama ini pajak sebagai keilmuan masih melekat pada salah satu disiplin saja. 

"Masalahnya, salah satu tantangannya, pajak itu lebih melekat pada satu disiplin dan lebih pragmatis. Kalau edukasinya tidak cair, hanya menyentuh pada salah satu jurusan tertentu saja, ini akan relatif sulit untuk disentuh riset," ujar Bawono dalam Simposium Nasional Perpajakan (SPN) IX yang diselenggarakan oleh Jurusan Akuntansi FEB Universitas Trunojoyo Madura, Kamis (30/11/2023). 

Selanjutnya, tantangan kedua adalah minimnya ketersediaan literatur yang bisa digunakan dalam riset pajak. Kebanyakan sumber literatur pajak di Indonesia, imbuh Bawono, masih terbatas pada paparan regulasi saja. 

Tantangan riset pajak yang ketiga, ketersediaan data yang minim. Periset dan akademisi cenderung kesulitan dalam mengakses data-data perpajakan, baik dari otoritas ataupun dari pihak-pihak lain. 

Keempat, dana riset yang belum optimal. Ketersediaan dana riset, ujar Bawono, tentunya menjadi bahan bakar bagi para periset untuk menyentuh isu perpajakan. 

"Kalau dananya belum ada, jarang masuk situ. Tapi sebenarnya [sumber pendanaan] ada banyak. Karena kita bicara applied tax research," kata Bawono. 

Tantangan kelima, permintaan riset pajak yang masih sedikit. Seluruh tantangan tersebut, menurut Bawono, berakar dari tiga permasalahan. Ketiganya adalah belum terbentuknya masyarakat melek pajak, ketersediaan ahli pajak yang terbatas, dan sejarah fiskal Indonesia yang tidak banyak menyentuh isu pajak. 

"Kematangan riset pajak yang belum optimal, disebabkan sejarah fiskal kita memang tidak terbiasa meneliti itu bertahun-tahun lamanya," kata Bawono. 

Cakupan Topik yang Luas 

Kendati masih banyak tantangan, cakupan topik riset pajak sebenarnya cukup luas. Bawono menegaskan bahwa pada dasarnya pajak merupakan multidisplin ilmu. Karenanya, riset pajak bisa dikaitkan dengan banyak bidang, termasuk politik, ekonomi, hukum, sosiologi, bahkan psikologi atau filsafat. 

"Semuanya bisa berinteraksi dalam wadah yang namanya riset," kata Bawonio. 

Bawono lantas mengungkapkan beberapa contoh riset pajak yang bersinggungan dengan bidang keilmuan lainnya. Pertama, hubungan antara rezim politik dan kinerja penerimaan pajak.

Dalam topik ini, riset mencoba mencari hubungan antara pajak dan sistem politik yang berjalan di sebuah negara. Negara yang demokratis memiliki kapabilitas yang lebih tinggi dalam memungut pajak. Dengan begitu, makin demokratis suatu negara maka makin tinggi pula penerimaan pajak yang mampu dikumpulkan oleh negara tersebut. 

Namun, terdepat beberapa literatur yang berkesimpulan negara otoriter justru memiliki kemampuan pemajakan yang lebih besar. Alasannya, negara otoriter memiliki kebebasan untuk memaksa rakyatnya membayar pajak. 

"Lantas mana yang benar? Ternyata ada hubungan yang menarik. Baik negara demokrasi atau otokrasi memiliki penerimaan tinggi. Namun, negara yang semidemokrasi penerimaannya relatif lebih rendah. Jadi, dalam konteks optimalisasi penerimaan rezim politik seyogianya tidak bisa setengah-setengah," kata Bawono. 

Contoh riset kedua mengangkat tentang sistem pajak dan lunturnya filosofi keadilan. Riset ini mencoba mengonfirmasi apakah sistem pajak global memang makin menjauh dari prinsip keadilan. 

Ternyata, ada 7 hal yang mendorong sistem pajak secara alamiah makin tidak adil. Ketujuh hal tersebut antara lain, adanya paradigma supply side tax policy yang menganggap bahwa pemungutan pajak harus seringan-ringannya. 

Selanjutnya, skenario dual income tax, globalisasi pasar keuangan dan tax haven, perkembangan struktur penerimaan pajak (tax mix), hilangnya relevansi compensatory theorem, konsistem penerapan windfall tax, dan kian lemahnya progresivitas PPh orang pribadi. 

"Selain riset di atas, masih ada beberapa contoh riset pajak lainnya yang bisa digarap, seperti pemajakan bagi organisasi nirlaba, perilaku retained earnings dan objek PPh, serta perilaku konsumen dan tarif cukai," kata Bawono. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.