SINGAPURA, DDTCNews - Topik mengenai perkembangan alokasi hak pemajakan menjadi salah satu bahasan utama dalam konferensi tahunan sekaligus peluncuran Singapore Tax Academy Research Initiative (STARI), Senin (11/8/2025).
Dalam paparan akademisnya, Prof. Zhu Yansheng dari Xiamen University membahas perkembangannya secara konseptual dengan tajuk The Development of the Theoretical Framework for Allocating Taxing Rights on Income from Cross-Border Transactions. Menurutnya, pembagian alokasi hak pemajakan akan selalu menjadi perdebatan yang sulit mencapai titik temu.
“Selama setiap negara memiliki basis pajak yang sama dalam memajaki suatu penghasilan, akan selalu ada kelompok negara yang akan merasa dirugikan,” kata Zhu dalam acara yang digelar di Singapore Management University.
Tidak hanya soal negara sumber penghasilan versus negara residen, diskursus alokasi hak pemajakan yang tepat juga berlangsung hingga penerapan Pillar 2 OECD atau global minimum tax (GMT/pajak minimum global).
“Dalam konteks tersebut, terdapat pula upaya mencapai konsensus terkait dengan hak pemajakan host country vs home country," kata Zhu.
Adapun host country yang dimaksud adalah negara tempat di mana suatu perusahaan multinasional didirikan atau menjadi residen. Sementara itu, home country adalah tempat di mana perusahaan induk berada.
“Demi mengundang negara pasar mau bergabung untuk menerapkan pajak minimum global, akhirnya hak pemajakan utama diberikan pada host country,” kata Zhu melengkapi.
Hal yang sama juga terjadi pada Pilar 1 OECD terkait Amount A yang berupaya menjawab tantangan pemajakan atas ekonomi digital dengan memberi negara sumber penghasilan hak pemajakan sebagai negara ‘pasar’.
Apakah pembagian hak pemajakan secara dikotomi negara sumber versus negara residen, serta home country versus host country tersebut sudah mencerminkan keadilan? “Sayangnya belum,” tegas Zhu.
Dalam konteks model ekonomi yang terus berkembang dan mengalami digitalisasi, pembagian ini menjadi rumit karena pembagian berdasarkan persepsi tersebut menjadi 'kabur'. Profesor Zhu menekankan pentingnya menerapkan konsep value generation dalam konteks model ekonomi saat ini yang dalam derajat tertentu hampir pasti mengalami digitalisasi.
“Prinsipnya adalah, laba perusahaan harus dipajaki dimana aktivitas ekonomi terjadi dan terjadinya penciptaan nilai dihasilkan (value generation).”
Zhu melanjutkan, wajib pajak perlu membedakan antara value creation dan value generation. Value creation masih ‘terjebak’ dalam suatu konsep bahwa entitas yang memiliki fungsi ekonomi, aset, atau risiko tertentu diatribusikan penghasilan. Namun, value generation juga melihat kontribusi ‘non-entitas’ dalam memberikan nilai (seperti data user) serta realisasi dari value yang tercipta (brand, traffic).
Lanjutnya, meskipun value creation berasal dari suatu negara tertentu, realisasi terhadap value tersebut baru benar-benar terjadi jika ada pasar yang menilai produk tersebut sehingga terjadi apa yang disebut value realization. Dengan demikian, formula dari value generation adalah total dari value creation dan value realization.
“Seharusnya, negara-negara tempat terjadinya value generation dan value realization juga diberikan atribusi ekonomi. Significat economic presence seharusnya dimaknai lebih dari sekedar perluasan bentuk usaha tetap,” ujar Zhu.
Sebagai informasi, konferensi di Singapura tersebut dihadiri oleh Head of DDTC Tax Knowledge & Training Center Kurniawan Agung Wicaksono dan Manager of DDTC Fiscal Research & Advisory Denny Vissaro. Baca 'Tiba di Singapura, Delegasi DDTC Hadiri Konferensi Pajak Perdana STARI'.
Dalam acara yang digelar pada Senin (11/8/2025), presentasi akademis tersebut kemudian dilanjutkan oleh Dr. Leopoldo Parada dari King's College London dengan tajuk Levelling the Playing Field: Competitiveness Beyond Pillar Two.
STARI merupakan proyek yang diluncurkan oleh Singapore Management University Yong Pung How Schoold of Law –didukung oleh Tax Academy of Singapore. Proyek ini merupakan bentuk inisiatif dalam menghadapi ketidakpastian ekosistem pajak global yang begitu banyak dipengaruhi interaksi lintas negara.
Konferensi tahunan ini dilakukan dengan membawa pemikir pajak global terbaik dari berbagai negara untuk memberikan pandangannya terhadap isu strategis pajak internasional terkini.
Profesor tamu STARI, yakni Prof. Michael Dirkis dari University of Sydney juga berbicara tentang masa depan kerja sama pajak Internasional, sementara dua profesor terkemuka lainnya membagi pandangan mereka tentang alokasi hak pemajakan atas pendapatan dari transaksi lintas negara dan daya saing akibat penerapan pajak minimum global.
Selain itu, terdapat diskusi panel yang membahas berbagai perspektif tentang isu pajak internasional terkini.
Partisipasi delegasi DDTC dalam konferensi ini merupakan kelanjutan komitmen DDTC untuk terus berkontribusi dalam menghasilkan pemikiran dalam rangka mendorong sistem pajak yang berimbang dan mampu menjembatani setiap pemangku kepentingan dalam ekosistem pajak.
Sejalan dengan hal tersebut, DDTC selalu konsisten dalam berinvestasi pada sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan mampu mengasilkan output yang berkualitas dan inovatif. (sap)
*Artikel reportase ini disusun oleh Manager of DDTC Fiscal Research & Advisory Denny Vissaro dan Head of DDTC Tax Knowledge & Training Center Kurniawan Agung Wicaksono.