RESENSI JURNAL

Rekomendasi OECD dalam Mendesain Ketentuan Pajak Cryptocurrency

Redaksi DDTCNews | Rabu, 02 Februari 2022 | 10:15 WIB
Rekomendasi OECD dalam Mendesain Ketentuan Pajak Cryptocurrency

TRANSAKSI mata uang kripto (cryptocurrency) saat ini makin digemari. Selain didukung pesatnya teknologi digital, alat tukar yang termasuk dalam kategori aset-aset kripto (cryptoassets) ini dinilai oleh penggunanya memiliki fungsionalitas yang tinggi dengan biaya yang cenderung lebih rendah.

Cryptocurrency juga memiliki karakteristik unik lainnya, yaitu peredarannya tidak diawasi siapapun, bersifat anonim dan cenderung sulit untuk divaluasi. Ada juga cryptocurrency yang bersifat hybrid, yaitu instrumen keuangan dan aset tidak berwujud.

Karakteristik nonkonvensional dari cryptocurrency tersebut menimbulkan tantangan bagi perumus kebijakan, termasuk dalam ranah pajak. Namun, beberapa yurisdiksi telah mengeluarkan panduan bahkan kerangka hukum tentang perlakuan pajak terhadap aset kripto, termasuk cryptocurrency.

Baca Juga:
Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Lantas, bagaimana seharusnya perlakuan pajak mata uang kripto? Laporan OECD berjudul Taxing Virtual Currencies: An Overview of Tax Treatments And Emerging Tax Policy Issues menawarkan jawabannya.

Secara garis besar, laporan tersebut mengidentifikasi pendekatan kebijakan pajak bagi mata uang kripto serta memberikan gambaran perlakuan pajaknya—termasuk PPh, PPN, dan pajak properti—di beberapa yurisdiksi.

Sebelumnya, laporan ini terlebih dahulu menjelaskan berbagai konsep, definisi, dan terminologi yang terdapat pada isu cryptoassets. Meski belum terdapat definisi dan taksonomi yang disepakati secara internasional, aset-aset kripto dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis utama berdasarkan fungsinya yaitu sebagai sarana pembayaran (cryptocurrency), akses ke produk atau platform tertentu, dan token investasi.

Baca Juga:
PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Lebih lanjut, transaksi kena pajak (taxable event) mata uang kripto juga perlu dilihat berdasarkan siklusnya (life cycle). OECD mengidentifikasi empat siklus utama dari cryptocurrency, yaitu fase penciptaan, penyimpanan dan transfer, transaksi, serta evolusi.

Contoh, sebagian besar yurisdiksi mengenakan PPh dan PPN atas transaksi cryptocurrencies dan produk lainnya (uang fiat, barang dan jasa, serta bentuk aset kripto lainnya).

OECD juga mengidentifikasi beberapa tantangan utama yang dialami oleh berbagai yurisdiksi dalam implementasi perlakuan pajak cryptocurrency. Beberapa di antaranya adalah isu mengenai metode valuasi, basis pajak, dan pengaplikasian fitur baru dalam mata uang kripto.

Baca Juga:
Pilar 1 Tak Kunjung Dilaksanakan, Kanada Bersiap Kenakan Pajak Digital

Sebagai penutup, OECD memberikan empat rekomendasi utama yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah dalam memperkuat kerangka hukum mengenai perlakuan pajak cryptocurrency.

Pertama, memberikan panduan dan kerangka kebijakan pajak secara komprehensif dan diperbarui secara berkala. Dalam hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan konsistensi kebijakan terkait dengan perlakuan terhadap aset kripto lainnya. Kerangka kebijakan juga perlu disesuaikan dengan tren transaksi yang tengah berkembang.

Kedua, perlunya meningkatkan kepatuhan pajak melalui simplifikasi ketentuan valuasi aset serta penerapan pengecualian pengenaan pajak atas transaksi cryptocurrency bernominal kecil.

Baca Juga:
Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

Ketiga, pemerintah dapat menyelaraskan perlakuan pajak cryptocurrency dengan tujuan kebijakan lainnya, seperti pengurangan penggunaan mata uang konvensional, akselerasi ekonomi, bahkan kebijakan prolingkungan.

Keempat, pengembangan kerangka kebijakan pajak juga dapat dilakukan secara paralel dalam mengantisipasi perkembangan baru jenis-jenis cryptocurrency. Saat ini, beberapa mata uang kripto baru yang telah diidentifikasi antara lain stablecoins, Central Bank Digital Currencies (CBDC), dan Decentralized Finance (DeFi).

Secara umum, laporan yang diterbitkan pada 2020 ini layak untuk dijadikan salah satu referensi dan panduan bagi perumus kebijakan dalam menyusun kebijakan pajak atas cryptocurrency. Tertarik untuk membaca artikel ini? Silakan Anda unduh langsung di sini.*


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

BERITA PILIHAN
Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

Jumat, 19 April 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jokowi Segera Bentuk Satgas Pemberantasan Judi Online

Jumat, 19 April 2024 | 16:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Jangan Diabaikan, Link Aktivasi Daftar NPWP Online Cuma Aktif 24 Jam

Jumat, 19 April 2024 | 15:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Kring Pajak Jelaskan Syarat Piutang Tak Tertagih yang Dapat Dibiayakan

Jumat, 19 April 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Persilakan WP Biayakan Natura Asal Penuhi 3M