Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan paparannya. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sejauh ini telah menunjukkan tren penurunan.
Sri Mulyani mengatakan rasio utang sempat melonjak hingga 40,73% pada 2021 akibat pandemi Covid-19. Namun pada Juli 2022, angkanya telah turun menjadi sebesar 37,91%.
"Ini adalah suatu konsolidasi fiskal yang sangat-sangat cepat dibandingkan berbagai negara di dunia yang rasio utangnya masih tinggi dan terus meningkat," katanya dalam rapat bersama Komite IV DPD, dikutip Sabtu (27/8/2022).
Sri Mulyani mengatakan penanganan pandemi Covid-19 mendorong peningkatan rasio utang Indonesia pada 2020-2021. Pada 2019, rasio utang tercatat sebesar 30,18%, tetapi tiba-tiba melonjak menjadi 39,36% pada 2020.
Mengenai angka rasio utang pada akhir Juli 2022 yang turun jadi 37,91%, dia menilai kondisi itu didorong oleh pengendalian pembiayaan utang seiring dengan makin baiknya kinerja APBN dan pemulihan ekonomi nasional.
Secara nominal, posisi utang pemerintah hingga Juli 2022 tercatat Rp7.163,12 triliun. Berdasarkan jenisnya, utang pemerintah masih didominasi instrumen SBN yang mencapai 88,5%, sementara berdasarkan mata uang didominasi oleh rupiah sebesar 70,49%.
Selain itu, saat ini kepemilikan oleh investor asing terus menurun dari 38,57% pada 2019 menjadi 19,05% pada akhir 2021, dan hanya 15,58% hingga 11 Agustus 2022.
"Dengan pemulihan ekonomi yang kuat dan penerimaan negara yang makin kuat, kita melihat issuance utang bisa kita turunkan secara sangat drastis," ujarnya.
Dengan utang yang terkendali tersebut, Sri Mulyani menyebut Indonesia mampu mendapatkan upgrade outlook dari lembaga pemeringkat seperti S&P Rating Agency. Sedangkan bagi Fitch dan Moody's Indonesia dianggap stable atau prospeknya positif.
Dia menyebut hanya 30 negara yang memiliki rating membaik, karena 161 negara lainnya mendapatkan downgrade.
"Meskipun demikian, kita harus juga melihat bahwa tekanan APBN belum hilang atau bahkan sekarang meningkat. APBN sebagai shock absorber harus diposisikan sebagai instrumen untuk mengurangi dampak shock yang terjadi akibat geopolitik dan geoekonomi," imbuhnya. (sap)