“SEPULUH persen warga dunia terlalu kaya.” demikian pernyataan ekonom Prancis Thomas Piketty dalam karyanya yang berjudul ‘Capital in the 21st Century’.
Dalam banyak studi empirisnya, Piketty juga menemukan korelasi antara kepemilikan kekayaan dengan fenomena ketimpangan. Negara-negara dengan angka koefisien gini – ukuran ketimpangan – tinggi merupakan negara yang kekayaannya terkonsentrasi pada pucuk piramida distribusi, yaitu kelompok berpenghasilan tinggi.
Soal ketimpangan, bukan hanya Piketty yang menyatakan kekhawatiran. Ekonom dari berbagai mazhab turut menyerukan perspektifnya dalam fenomena ketimpangan kekayaan dan pendapatan.
Mengacu pada teori klasik John M. Keynes soal pertumbuhan ekonomi, ekonom post-keynesian mengupas bagaimana kondisi ekonomi makro seperti produk domestik bruto (PDB), konsumsi, upah, dan tingkat tabungan menjadi esensial dalam menganalisis fenomena ini.
Pengenaan pajak atas kekayaan bagi kelompok berpenghasilan tinggi menjadi alternatif yang kerap ditawarkan. Hal ini telah menjadi sorotan di arena lingkaran kebijakan sebagai salah satu solusi untuk menutup jurang ketimpangan. Meskipun demikian, hingga saat ini, kebijakan tersebut tak terlepas dari diskursus akademis.
Artikel berjudul ‘A Consensus on Taxing the Rich? Comparing Mainstream Economics, Piketty and Post-Keynesian Economics’ mengurai kontribusi berbagai pandangan akademis seperti Piketty, pendekatan post-keynesian, serta pendekatan ekonomi arus utama dalam isu pajak kelompok berpenghasilan tinggi dan pajak atas kekayaan.
Dalam awal pembahasan, artikel ini terlebih dahulu menjelaskan perspektif dari masing-masing akademisi mengenai ketimpangan dan instrumen pajak dalam mengatasi fenomena tersebut.
Pendekatan ekonomi arus utama menilai ketimpangan dapat menghasilkan efek substitusi yaitu meningkatnya eksternalitas. Menggunakan alasan tersebut, tarif pajak marjinal yang lebih tinggi pada kelompok kaya dapat digunakan sebagai trade-off bagi membiayai eksternalitas tersebut.
Sementara itu, melalui pendekatan empirisme, Piketty berhasil membuktikan interaksi antara ketimpangan pendapatan dan ketimpangan kekayaan yang terjadi di berbagai negara. Pengembalian kekayaan yang lebih besar bagi golongan berpenghasilan tinggi berpotensi melampaui pertumbuhan ekonomi sehingga dibutuhkan instrumen pajak atas kekayaaan dalam mengoreksi hal tersebut.
Berbeda dengan pendekatan arus utama yang memfokuskan analisis pada level ekonomi mikro dan efek substitusi, ekonom post-keynesian memilih pendekatan makroekonomi yakni upah, konsumsi, dan tabungan sebagai faktor determinan dalam menjelaskan distribusi pendapatan. Kebijakan pajak penghasilan progresif menurut post-keynesian dapat membantu mengurangi ketimpangan dan memaksimalkan lapangan kerja (full employment).
Meskipun perbedaan tampak dalam penjelasan perspektif teoretis mengenai pajak dan ketimpangan, ketiganya menawarkan resep kebijakan pajak yang relatif serupa dalam menangani ketimpangan.
Artikel ini kemudian berupaya untuk membangun benang merah di antara tiga perspektif tersebut. Terlepas dari perbedaan yang ada, ada sebuah konsensus terkait urgensi pengenaan pajak bagi orang kaya (the rich). Menariknya, perbedaan perspektif antara post-keynesian dan pendekatan arus utama tidak bertolak belakang melainkan dapat saling melengkapi.
Sementara itu, Piketty berada di jalan tengah kedua mazhab tersebut. Berbagai studi empiris yang dilakukannya berkontribusi untuk melebur perspektif post-keynesian dan pendekatan arus utama serta memberikan justifikasi berbasis bukti dalam menganalisis pilihan instrumen pajak yang efektif dalam mengurangi kesenjangan vertikal dan horizontal.
Artikel yang terbit dalam International Journal of Political Economy ini sangat relevan bagi kalangan akademis, pemangku kebijakan, dan masyarakat sipil. Bacaan ini berguna dalam mengidentifikasi berbagai perspektif ekonomi terkait alternatif kebijakan pajak dalam meningkatkan redistribusi pendapatan serta menemukan silver linings antara perspektif tersebut.*