PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

Pajak Internasional Makin Rentan Sengketa, Jangan Lupakan Ini

Redaksi DDTCNews | Jumat, 19 Februari 2021 | 16:00 WIB
Pajak Internasional Makin Rentan Sengketa, Jangan Lupakan Ini

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews – Di luar upaya hukum sesuai dengan ketentuan domestik suatu negara, wajib pajak bisa menggunakan mekanisme mutual agreement procedure (MAP) untuk menyelesaikan sengketa pajak internasional.

Associate Partner of International Tax and Transfer Pricing Dispute Services DDTC Yusuf Wangko Ngantung mengatakan dinamika pajak internasional yang cepat berubah selama 5 tahun terakhir, khususnya pascamunculnya Proyek BEPS yang digagas OECD/G20, kemungkinan akan berlangsung lebih panjang.

Apalagi, adanya pandemi Covid-19 pada gilirannya berpotensi memicu setiap negara untuk mengoptimalkan penerimaan pajak untuk mendukung pemulihan ekonomi serta kesinambungan fiskalnya.

Baca Juga:
Pilar 1 Tak Kunjung Dilaksanakan, Kanada Bersiap Kenakan Pajak Digital

“Sengketa agaknya menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan bagi transaksi yang bersifat lintas yurisdiksi. Peluang terjadinya pajak berganda makin besar,” katanya, Jumat (19/2/2021).

Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, sejatinya telah tersedia mekanisme MAP di luar dari upaya hukum yang tersedia dalam hukum domestik suatu negara. Mekanisme ini hanya dapat dilakukan otoritas pajak suatu negara dan negara mitra yang terikat dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B).

MAP sendiri merupakan alternatif bagi wajib pajak untuk menyelesaikan sengketa yang menimbulkan pemajakan berganda. MAP juga jadi alternatif penyelesaian sengketa apabila terdapat indikasi tindakan otoritas negara mitra menyebabkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B atau sengketa transfer pricing.

Baca Juga:
Tingkatkan Kesadaran Pajak, Uni Emirat Arab Terbitkan Taxpayer Charter

Dalam konteks tersebut, Yusuf mengatakan Proyek BEPS telah memberikan rekomendasi tentang suatu penyelesaian sengketa pajak internasional melalui MAP secara efektif dan efisien yang tertuang dalam Aksi ke-14.

Sebagai salah satu standar minimum, implementasi Aksi ke-14 tersebut telah mendorong berbagai negara untuk merumuskan sekaligus memperbaiki regulasi MAP. Di Indonesia, pemerintah juga telah berkomitmen mewujudkan proses MAP yang efisien dan efektif melalui PMK 49/2019 serta PER-16/PJ/2020.

Yusuf mengungkapkan ada beberapa aspek penting terkait dengan MAP. Pertama, pengajuan MAP dapat dilakukan jika pengenaan pajak oleh otoritas pajak P3B yang mengakibatkan terjadinya pengenaan pajak berganda, misalkan yang terkait dengan transfer pricing.

Baca Juga:
Bentuk UN Tax Convention, G-7 Ungkap Pentingnya Konsensus dalam Pajak

Selain itu, pengajuan MAP juga dapat dilakukan dalam hal pengenaan pajak di mitra P3B yang tidak sesuai dengan P3B, penentuan status subjek pajak dalam negeri (SPDN) oleh mitra P3B, diskriminasi perlakuan perpajakan di mitra P3B, serta penafsiran ketentuan P3B.

Kedua, permintaan pelaksanaan MAP dapat diajukan oleh wajib pajak dalam negeri, Warga Negara indonesia (WNI) melalui dirjen pajak, dirjen pajak, atau otoritas pajak mitra P3B melalui pejabat berwenang mitra P3B sesuai dengan ketentuan dalam P3B.

Ketiga, permintaan atas MAP dapat dilaksanakan bersamaan dengan upaya keberatan, banding, serta pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Syaratnya, materi yang diajukan permintaan pelaksanaan MAP harus tercakup dalam materi sengketa yang diajukan dalam permohonan itu.

Baca Juga:
Lapor SPT Tahunan, Biden Bayar Pajak Rp 2,37 Miliar pada 2023

Keempat, perundingan pelaksanaan MAP dibatasi paling lama 2 tahun. Kelima, dimungkinkannya pembaruan permintaan pelaksanaan MAP sepanjang memenuhi beberapa persyaratan.

“Dirjen pajak juga telah membentuk Komite Pembahas yang bertugas menentukan posisi runding dan mengkaji serta memutuskan apakah permohonan pembaruan MAP dapat disetujui atau tidak,” imbuh Yusuf.

Dari berbagai hal tersebut, sambungnya, pemerintah terlihat telah menyediakan upaya penyelesaian sengketa pajak internasional yang lebih berkepastian, berorientasi bagi wajib pajak, serta selaras dengan international best practice melalui rezim MAP saat ini.

“Bagi wajib pajak, hal ini tentu perlu dimanfaatkan terutama jika melihat dinamika pajak internasional yang bergerak cepat dan rentan terjadi sengketa,” kata Yusuf. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

25 Februari 2021 | 11:14 WIB

Pergerakan pajak internasional yang dinamis, dapat diatasi salah satunya dengan MAP sebagai alternatif solusi penyelesaian yang dapat ditempuh apabila terjadi sengketa lintas yurisdiksi. Diharapkan proses MAP ini dapat berjalan sesuai dengan asas ease of administration, sehingga dapat menjadi prioritas pilihan untuk dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak.

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN
Sabtu, 20 April 2024 | 16:45 WIB KEPATUHAN PAJAK

Periode SPT Badan Sisa Sepekan, Perusahaan Belum Operasi Tetap Lapor?

Sabtu, 20 April 2024 | 16:30 WIB KEANGGOTAAN FATF

Di FATF, Sri Mulyani Tegaskan Komitmen RI Perangi Kejahatan Keuangan

Sabtu, 20 April 2024 | 16:00 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Ada Ketidakpastian, Sri Mulyani Yakin Ekonomi RI Sekuat Saat Pandemi

Sabtu, 20 April 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN BEA CUKAI

Apa Beda Segel dan Tanda Pengaman Bea Cukai? Simak Penjelasannya

Sabtu, 20 April 2024 | 12:00 WIB KEPATUHAN PAJAK

Minta Perpanjangan Lapor SPT Tahunan? Ingat Ini Agar Tak Kena Sanksi

Sabtu, 20 April 2024 | 11:30 WIB KABUPATEN BULUNGAN

Sukseskan Program Sertifikat Tanah, Pemkab Beri Diskon BPHTB 50 Persen

Sabtu, 20 April 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Faktor-Faktor yang Menentukan Postur APBN Indonesia

Sabtu, 20 April 2024 | 10:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Jasa Konstruksi Bangunan bagi Korban Bencana Bebas PPN, Ini Aturannya

Sabtu, 20 April 2024 | 09:30 WIB KEBIJAKAN FISKAL

Jaga Kesinambungan Fiskal 2025, Pemerintah Waspadai Tiga Hal Ini