RESENSI JURNAL

Masalah Interpretasi dalam Penerapan Principal Purpose Test

Redaksi DDTCNews | Jumat, 06 Agustus 2021 | 13:00 WIB
Masalah Interpretasi dalam Penerapan Principal Purpose Test

SALAH satu standar minimum yang harus diadopsi dalam penerapan multilateral instrument (MLI) adalah ketentuan pencegahan penyalahgunaan P3B sehubungan dengan klausul principal purposes test (PPT) yang diatur dalam Pasal 7 paragraf (1) MLI yang juga selaras dengan ketentuan dalam Pasal 29 (9) OECD Model (2017).

PPT merupakan ketentuan yang bersifat general anti avoidance rule (GAAR). Dengan ketentuan PPT, praktik penyalahgunaan tax treaty (treaty shopping) dapat diminimalisir. Namun, beberapa ahli menilai ketentuan PPT sulit dilakukan karena memiliki interpretasi yang sangat luas.

Michael Lang (2020) dalam publikasi ilmiahnya berjudul The Signalling Function of Article 29(9) of the OECD Model – The “Principal Purpose Test” memberikan tinjauannya mengenai interpretasi ketentuan dari masing-masing klausul yang diatur dalam Pasal 29 (9) OECD Model.

Baca Juga:
Memahami Konsep Pajak dan Kaitannya dengan Konstitusi

Persyaratan Subjektif dan Objektif
MELALUI ketentuan PPT sebagaimana diatur dalam Pasal 29 (9) OECD Model, manfaat pajak yang berasal dari penerapan suatu tax treaty tertentu dapat dieliminasi dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pasal 29 (9) OECD Model membedakan antara persyaratan subjektif dan persyaratan objektif yang harus dipenuhi oleh wajib pajak.

Persyaratan subjektif yang diatur berdasarkan pada frasa “obtaining that benefit was one of the principal purposes”. Dalam laporan akhir Rencana Aksi BEPS 6, OECD menjelaskan mengenai pentingnya suatu analisis objektif mengenai objek dan tujuan untuk dapat mengambil kesimpulan mengenai intensi individu yang bertindak, apakah hanya semata bertujuan untuk mendapat manfaat perjanjian atau tidak.

Namun, terkait dengan penerapan persyaratan subjektif dan objektif tersebut, Lang (2014) menilai hanya persyaratan subjektif yang mungkin dilakukan karena penilaian suatu intensi dari pihak yang bertindak dalam analisis objektif tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

Baca Juga:
Dampak Digitalisasi terhadap Urusan Pajak Perusahaan dan Otoritas

Persyaratan objektif yang dimaksud adalah manfaat yang diberikan oleh tax treaty tidak dapat diberikan kecuali dapat dibuktikan berdasarkan pada keadaan yang sebenarnya bahwa suatu transaksi adalah sesuai dengan maksud dan tujuan dari ketentuan tax treaty yang relevan.

Dengan demikian kriteria objektif ditetapkan sebagai ketentuan pengecualian dalam membatasi manfaat pajak yang diberikan berdasarkan tax treaty.

Objek dan Tujuan
SEBAGAIMANA telah dijelaskan kriteria object and purpose menjadi suatu ketentuan pengecualian apabila persyaratan subjektif terpenuhi, tetapi tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari suatu tax treaty maka manfaat pajak tidak dapat diberikan.

Baca Juga:
Melawan Treaty Abuse dengan Principal Purpose Test, Ini Jadi Catatan

Untuk itu, Lang (2020) mempertanyakan alasan membiarkan "objek dan tujuan dari ketentuan-ketentuan yang relevan dari konvensi ini” untuk diperhitungkan hanya jika "memperoleh manfaat itu adalah salah satu tujuan utama dari setiap pengaturan atau transaksi".

Interpertasi ketentuan Pasal 29 (9) OECD Model sangat luas karena mengandung frasa dan kata-kata yang memiliki ambiguitas sehingga sulit untuk melakukan pembatasan interpretasi.

Dengan demikian, Lang (2014) menyatakan Pasal 29 (9) OECD Model menekankan perlunya penafsiran yang bertujuan tanpa membatasinya pada kasus-kasus yang tercakup dalam ketentuan tersebut.

Baca Juga:
Ciptakan Pajak yang Adil, Kemenkeu Jelaskan Pentingnya Modernisasi P3B

Selain itu, objek dan tujuan harus dipertimbangkan jika "memperoleh manfaat itu adalah salah satu tujuan utama dari setiap pengaturan transaksi” dan juga dalam semua kasus lain dari penerapan tax treaty.

Namun, penolakan terhadap manfaat dari suatu perjanjian tidak dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 29 (9) OECD Model. Apabila manfaat pajak tidak dapat diberikan karena tidak sesuai dengan objek dan tujuan perjanjian yang berlaku maka hal itu merupakan interpretasi ketentuan PPT.

Principal Purposes
FRASA “one of the principal purposes” dalam ketentuan Pasal 29 (9) menyatakan tujuan utama atas suatu skema atau transaksi, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah untuk mendapatkan manfaat atas suatu perjanjian.

Baca Juga:
Akuntansi Pajak, Ini 2 Tahap Atasi Ketidakpastian Posisi PPh di Lapkeu

Ketentuan tersebut dapat memberikan beban kepada wajib pajak untuk membuktikan salah satu tujuan utama dari suatu transaksi atau skema bisnis adalah tidak ditujukan untuk mendapatkan manfaat pajak dari suatu tax treaty tertentu.

OECD tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kriteria persyaratan dalam pengujian kewajaran suatu transaksi bertujuan untuk mendapatkan manfaat pajak, tetapi hanya memberikan panduan terbatas. OECD Commentaries menyarankan uji kewajaran juga mempertimbangkan interpretasi yang berbeda terhadap transaksi atau pengaturan yang diselidiki.

Penutup
KETENTUAN PPT menekankan perlunya interpretasi berdasarkan objek dan tujuan apabila tujuan utama transaksi adalah untuk mendapatkan manfaat pajak dalam tax treaty. Umumnya, ketentuan PPT mengatur wajib pajak tidak dapat menikmati manfaat tax treaty yang tidak menjadi haknya.

Baca Juga:
Akuntansi Pajak, 10 Langkah Sebelum Ungkap PPh di Laporan Keuangan

Dalam melakukan interpretasi ketentuan tax treaty harus dilakukan atas dasar objek dan tujuan perjanjian yang berlaku, terlepas dari apakah tujuan utama wajib pajak adalah untuk mendapatkan manfaat pajak berdasarkan perjanjian tertentu atau motif lainnya.

*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 27 Februari 2024 | 11:15 WIB RESENSI BUKU

Memahami Konsep Pajak dan Kaitannya dengan Konstitusi

Selasa, 20 Februari 2024 | 19:00 WIB RESENSI BUKU

Dampak Digitalisasi terhadap Urusan Pajak Perusahaan dan Otoritas

BERITA PILIHAN
Jumat, 26 April 2024 | 17:30 WIB REFORMASI PAJAK

Reformasi Pajak, Menkeu Jamin Komitmen Adopsi Standar Pajak Global

Jumat, 26 April 2024 | 17:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT Jasa Parkir dan Retribusi Parkir?

Jumat, 26 April 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN KEPABEAN

Impor Barang Kiriman? Laporkan Data dengan Benar agar Tak Kena Denda

Jumat, 26 April 2024 | 16:30 WIB PENERIMAAN PAJAK

Setoran PPN-PPnBM Kontraksi 16,1 Persen, Sri Mulyani Bilang Hati-Hati

Jumat, 26 April 2024 | 15:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Ada Usulan Tarif Pajak Kripto untuk Dipangkas, Begini Tanggapan DJP

Jumat, 26 April 2024 | 15:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Sudah Lapor SPT Tapi Tetap Terima STP, Bisa Ajukan Pembatalan Tagihan

Jumat, 26 April 2024 | 14:37 WIB PERATURAN PERPAJAKAN

Juknis Penghapusan Piutang Bea Cukai, Download Aturannya di Sini

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Indonesia Ingin Jadi Anggota OECD, DJP: Prosesnya Sudah On Track

Jumat, 26 April 2024 | 14:00 WIB KANWIL DJP DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Korporasi Lakukan Tindak Pidana Pajak, Uang Rp 12 Miliar Disita Negara