HARI Populasi Sedunia diperingati setiap 11 Juli. Peringatan ini sekaligus menjadi momentum untuk melihat kondisi populasi di dunia dan berbagai implikasinya. Terlebih, kondisi populasi erat kaitannya dengan perekonomian, kesejahteraan, pendidikan, perlindungan sosial, dan aspek lainnya.
Berdasarkan pada laporan United Nations (UN), jumlah penduduk di dunia pada 2024 diestimasi sekitar 8,2 miliar jiwa. Jumlah penduduk di Indonesia menempati posisi keempat terbanyak, yakni sekitar 282,4 juta. Padatnya populasi di sebuah negara turut menyisakan tantangan.
Zhou (2023) menuturkan ada suatu fasad yang tak kasat mata terkait dengan populasi, yakni ketimpangan gender dalam rumah tangga, pasar tenaga kerja, hingga situasi lainnya. Aspek ini bahkan dapat dikaitkan dengan perpajakan, seperti yang diulas dalam buku Taxation and Gender Equity.
Disunting oleh Caren Grown dan Imraan Valodia, buku ini mengulas desain kebijakan perpajakan dari berbagai negara maju dan berkembang menggunakan perspektif keadilan gender. Menariknya, buku ini menggunakan istilah equity atau keadilan, alih-alih kesetaraan atau equality.
Konsep equity tersebut mencakup 2 dimensi utama, yakni keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal menekankan bahwa individu dalam kondisi yang setara seharusnya juga diperlakukan secara setara (equal treatment for the equals).
Keadilan vertikal menekankan bahwa individu dalam kondisi yang berbeda justru memerlukan perlakuan yang berbeda (unequal treatment for the unequals). Dengan kata lain, keadilan tidak berarti memperlakukan semua orang secara sama, tetapi sesuai dengan situasi dan kapasitas masing-masing.
Studi empiris Thomas et al. (1993) yang dimuat di dalam buku ini menunjukkan perempuan pada situasi rentan dari sisi pengeluaran konsumsi. Dibandingkan pria, perempuan menghabiskan lebih banyak penghasilan mereka untuk makanan, pendidikan, hingga layanan kesehatan tumbuh kembang anak.
Dengan kondisi tersebut, perempuan sering kali menjadi subjek dari ketidakadilan dari sisi perpajakan yang berkaitan dengan konsumsi. Beberapa di antaranya menyangkut kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN), cukai, hingga pajak bahan bakar.
Dalam konteks pajak tidak langsung, Inggris merupakan satu dari sedikit negara dengan kebijakan pajak konsumsi yang berkeadilan gender. Inggris membebaskan PPN atas produk sanitasi perempuan karena dinilai sarat akan bias gender.
Selain itu, produk-produk yang dikonsumsi anak-anak juga menjadi salah satu objek dari pembebasan PPN. Berdasarkan pada analisis Henau et al. (2010), dibandingkan dengan pria, perempuan lebih banyak menanggung beban atas pengeluaran untuk kebutuhan tumbuh kembang anak.
Tidak hanya menyoroti seputar pajak atas konsumsi, buku yang diterbitkan Routledge ini juga membahas mengenai keadilan gender dalam pengenaan pajak penghasilan (PPh), khususnya terkait dengan orang pribadi.
Apalagi, perempuan cenderung memiliki siklus hidup yang lebih kompleks dibandingkan pria, mulai dari masa lajang, menikah, hingga merawat anak. Kebijakan perpajakan pada gilirannya perlu mempertimbangkan perubahan peran perempuan karena berkaitan pula dengan norma sosial.
Kesetaraan gender umumnya ditafsirkan dengan prinsip Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Contoh, beban pajak yang harus ditanggung rumah tangga dengan satu penerima penghasilan ternyata jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan yang menerima penghasilan ganda.
Dengan demikian, berdasarkan prinsip CEDAW, rumah tangga dengan satu penerima penghasilan seharusnya menerima pengurangan beban pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga berpenghasilan ganda.
Bias gender dalam perpajakan tampak, baik secara eksplisit maupun implisit, di beberapa negara. India secara terang-terangan memberikan batas pembebasan PPh yang lebih tinggi bagi perempuan dibandingkan laki-laki.
Selain itu, beberapa negara seperti Argentina dan Maroko hanya memberikan pengurangan beban pajak kepada pekerja formal. Kebijakan ini secara implisit lebih menguntungkan pria karena menjadi pekerja dominan di ranah tersebut.
Sebuah kebijakan perpajakan umumnya dibuat dengan mengutamakan aspek produktivitas penerimaan, simplifikasi administrasi, dan keadilan bagi pihak-pihak yang akan menanggung beban pajak tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan desain sebuah sistem yang sensitif dan responsif terhadap keadilan gender.
Setidaknya ada 2 objektif utama. Pertama, meningkatkan keadilan distribusi dalam sistem perpajakan dengan mengurangi ketimpangan gender di tingkat rumah tangga. Kedua, membentuk sistem perpajakan yang dapat mendorong perubahan perilaku masyarakat terhadap pandangan keadilan gender.
Dengan populasi yang terus bertumbuh, Indonesia pada akhirnya juga perlu untuk melihat kembali sistem perpajakan yang ada. Penulis menyatakan sistem perpajakan yang adil tidak cukup hanya bersifat netral, tetapi harus secara aktif mengoreksi bias sosial yang telah mengakar.
Upaya reformasi perpajakan semestinya tidak lagi hanya berorientasi pada efisiensi dan penerimaan, tetapi juga pada transformasi sosial menuju masyarakat yang lebih setara dan inklusif. Pada akhirnya, desain sistem pajak juga menentukan pihak yang dilindungi dan nilai yang diperjuangkan.
Tertarik membaca buku ini? Silakan kunjungi DDTC Library. Hingga saat ini, DDTC Library memiliki lebih dari 4.700 literatur. Koleksi berupa buku, jurnal, majalah, dan publikasi lainnya dikelompokkan ke dalam lebih dari 45 topik yang dibutuhkan untuk memahami perpajakan secara komprehensif.
DDTC Library berperan strategis dalam setiap pemikiran, perencanaan, pemecahan masalah, hingga pengambilan keputusan. Peran ini bukan hanya untuk internal DDTC, melainkan juga publik demi sistem perpajakan Indonesia yang lebih baik.
Sebelum mengunjungi DDTC Library, publik bisa terlebih dahulu melakukan konfirmasi lewat hotline: +62-21-2938-2700 atau email: [email protected]. Kunjungi pula Instagram DDTC Library untuk mendapatkan berbagai informasi terbaru terkait dengan literatur perpajakan. (Achmad Hilmy Syarifudin)