RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) atas pajak penghasilan (PPh) Pasal 21.
Adapun koreksi yang dilakukan berkaitan dengan komponen biaya pegawai yang terdiri atas iuran jamsostek dan pensiun. Tidak hanya itu, koreksi juga dilakukan terhadap pembayaran biaya tantiem direksi dan pesangon pegawai.
Dalam sengketa ini, otoritas pajak menilai bahwa biaya pegawai yang ditanggung wajib pajak seharusnya menjadi objek PPh Pasal 21. Selain itu, otoritas pajak juga berpendapat bahwa wajib pajak belum memotong dan menyetorkan PPh Pasal 21 atas biaya tantiem direksi serta biaya pesangon. Oleh sebab itu, otoritas pajak menetapkan koreksi PPh Pasal 21 atas biaya-biaya tersebut.
Sebaliknya, wajib pajak tidak setuju atas koreksi yang dilakukan oleh otoritas pajak. Wajib pajak berargumen bahwa iuran jamsostek dan pensiun yang ditanggungnya bukan merupakan objek PPh Pasal 21.
Atas biaya tantiem direksi dan pesangon, wajib pajak menyatakan bahwa biaya tersebut telah dilakukan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dibenarkan.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak badan. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan dari otoritas pajak selaku Pemohon PK.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak badan mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak pada 21 April 2009. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa koreksi DPP PPh Pasal 21 yang ditetapkan oleh otoritas pajak tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengabulkan seluruh permohonan banding dan membatalkan SKPKB yang dilakukan oleh otoritas pajak.
Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.51909/PP/M.XB/10/2014 tanggal 16 April 2014, otoritas pajak mengajukan Permohonan PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 13 Agustus 2014.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif atas dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 21 terkait pembayaran biaya pegawai, tantiem direksi, dan pesangon pegawai sebesar Rp1.090.410.154 pada perhitungan PPh Tahun Pajak 2006.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Termohon PK membayar sejumlah remunerasi kepada pegawai yang menyebabkan timbulnya koreksi terhadap tiga objek PPh Pasal 21 tersebut.
Pertama, koreksi DPP PPh Pasal 21 yang berasal dari biaya pegawai, meliputi iuran jamsostek dan iuran pensiun. Dalam kasus ini, Termohon PK membayarkan iuran jamsostek pegawai kepada PT X.
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan Pemohon PK, tidak ada bukti bahwa pembayaran tersebut dilakukan untuk program jaminan hari tua (JHT). Dikarenakan tidak adanya bukti yang cukup maka atas pembayaran tersebut tetap digolongkan sebagai objek PPh Pasal 21 sebagaimana diatur dalam angka 6 huruf a SE-02/PJ.31/1996.
Sementara itu, untuk pembayaran iuran pensiun pegawai yang biayanya ditanggung oleh Termohon PK seharusnya juga menjadi objek PPh Pasal 21 sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a PER-15/PJ/2006. Dengan demikian, Pemohon PK menetapkan koreksi PPh Pasal 21 atas biaya pegawai yang meliputi iuran jamsostek dan iuran pensiun.
Kedua, koreksi DPP PPh Pasal 21 atas biaya tantiem direksi. Dalam perkara ini, Termohon PK berkewajiban membayar tantiem kepada direksi. Namun, pada saat proses penelitian keberatan, Termohon PK tidak dapat memberikan data yang memadai untuk membuktikan bahwa PPh Pasal 21 atas biaya tantiem sudah dipotong dan disetorkan kepada Pemohon PK dengan benar. Oleh sebab itu, Pemohon PK menetapkan koreksi PPh Pasal 21 atas biaya tantiem direksi.
Ketiga, koreksi PPh Pasal 21 atas biaya pesangon pegawai. Termohon PK diketahui telah membayarkan biaya pesangon kepada pegawainya. Kendati demikian, ketika proses penelitian keberatan, Termohon PK juga tidak memiliki bukti yang cukup untuk menunjukkan PPh Pasal 21 atas biaya pesangon telah dipotong dan disetorkan kepada Pemohon PK. Dengan demikian, Pemohon PK menetapkan koreksi PPh Pasal 21 atas biaya pesangon.
Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju atas pernyataan dan koreksi yang dilakukan oleh Pemohon PK. Termohon PK menjelaskan bahwa iuran jamsostek dan pensiun tidak dapat digolongkan sebagai objek PPh Pasal 21 sepanjang iuran dibayarkan kepada perusahaan pengelola dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat (3) PER-15/PJ/2006.
Adapun PT X sendiri merupakan perusahaan yang memberikan jasa pengelolaan dana pensiun dan atas pendiriannya telah disahkan menteri keuangan. Oleh karena itu, iuran jamsostek dan pensiun yang dibayarkan Termohon PK kepada PT X dikecualikan dari objek PPh Pasal 21.
Sehubungan dengan biaya tantiem direksi dan pesangon pegawai, Termohon PK berpendapat telah membuktikkan bahwa PPh Pasal 21 atas pembayaran tersebut sudah dipotong dan disetorkan Pemohon PK. Dengan demikian, koreksi PPh Pasal 21 atas biaya tantiem direksi dan pesangon pegawai tidak dapat dipertahankan.
Berdasarkan uraian di atas, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan koreksi yang dilakukan oleh Pemohon PK. Dengan demikian, pertimbangan hukum yang diberikan Majelis Hakim Pengadilan Pajak sudah tepat dan benar.
MAHKAMAH Agung menyatakan bahwa alasan-alasan permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Dengan begitu, putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar. Terdapat dua pertimbangan hukum yang menjadi landasan Mahkamah Agung dalam perkara ini.
Pertama, alasan Pemohon PK mengenai koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.090.410.154 untuk tahun pajak 2006 tidak dapat dibenarkan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan kedua belah pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta atau melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan.
Kedua, dalam perkara ini, koreksi yang dilakukan oleh Pemohon PK tidak dapat dibenarkan sehingga tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai tidak berasalan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (Rauzan Alfazri/sap)
