PEMERINTAH Kota Sukabumi berencana meningkatkan penerimaan pajak air tanah seiring dengan terbitnya Perwali No.11/2020. Komisi II DPRD Kota Ambon mendorong Badan Pengelola Pajak dan Retribusi memaksimalkan peraturan tentang pemungutan pajak air tanah yang belum optimal.
Dalam sepekan terakhir, hak pemajakan air permukaan atas sumber air di pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Koto Panjang tengah menjadi polemik. Polemik ini bermula dari ketika Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri mengeluarkan surat nomor 973/2164/KEUDA
Surat tersebut membuat Pemprov Riau berhak atas seluruh penerimaan pajak air permukaan yang semula dibagi dua dengan Pemprov Sumatera Barat. Namun, keputusan tersebut ditentang Pemprov Sumatera Barat. Lantas, sebenarnya apa beda pajak permukaan dan air tanah?
Definisi
MERUJUK Pasal 1 angka 17 UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), pajak air permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
Adapun yang dimaksud dengan air permukaan adalah air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 1 angka 33 pajak air tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Sesuai dengan penyebutannya, air tanah merupakan air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
Pajak air permukaan (PAP) merupakan salah satu dari 5 jenis pajak yang menjadi wewenang dari pemerintah provinsi. Berbeda dengan PAP, pajak air tanah (PAT) merupakan pajak daerah yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota.
Namun, pengenaan PAP maupun PAT tidak mutlak ada pada seluruh daerah. Hal ini lantaran pengenaan pajak daerah tergantung pada keputusan pemerintah daerah untuk mengenakan atau tidak suatu jenis pajak. Simak Kamus “Apa itu Pajak, Pajak Pusat, dan Pajak Daerah”
Objek, Subjek, dan Wajib Pajak
Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Begitu pula dengan objek PAT yang menyasar pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Pemanfaatan/pengambilan tersebut dapat dilakukan oleh orang pribadi atau badan untuk berbagai macam keperluan.
Kendati memiliki objek pajak yang berbeda, baik PAP maupun PAT mengecualikan pemanfaatan/pengambilan air untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian, dan perikanan rakyat dari objek pajak.
Selain itu, pengecualian juga dapat diberikan berdasarkan peraturan daerah. Namun, PAP mempersyaratkan kelestarian lingkungan sebagai aspek yang patut dipertimbangkan untuk memberikan pengecualian.
Berdasarkan Pasal 22 UU PDRD, subjek pajak PAP adalah orang pribadi atau badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Sementara itu, yang menjadi wajib pajak PAP adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan.
Hal ini berarti pengertian subjek pajak PAP lebih luas dari pada wajib pajak. Pasalnya, yang menjadi subjek pajak adalah barangsiapa yang dapat melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan. Adapun wajib pajak adalah siapa yang secara nyata melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 68 UU PDRD, PAT memiliki subjek dan wajib pajak yang sama yaitu orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Dengan demikian, pada pengenaan PAT subjek pajak dan wajib pajak adalah pihak yang sama.
DPP, Tarif, dan Perhitungan
MERUJUK Pasal 23 dan Pasal 69 UU PDRD baik PAP maupun PAT sama-sama menjadikan nilai perolehan yang dinyatakan dalam nominal rupiah sebagai dasar pengenaan pajak (DPP). Namun, faktor yang menjadi dasar perhitungan nilai perolehan air permukaan (NPAP) dan air tanah berbeda.
Faktor-faktor yang menjadi dasar untuk menghitung NPAP antara lain: jenis dan lokasi sumber air, tujuan pengambilan/pemanfaatan, volume air, kualitas air, luas areal tempat pengambilan/ pemanfaatan, dan tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan/pemanfaatan
Sedangkan untuk menghitung nilai perolehan air tanah, luas areal tempat pengambilan/pemanfaatan tidak menjadi faktor perhitungan nilai perolehan air tanah. Namun, untuk faktor lain mulai dari jenis, lokasi, tujuan, volume, kualitas air, dan tingkat kerusakan menjadi pertimbangan.
Adapun penggunaan faktor-faktor itu disesuaikan dengan kondisi daerah sehingga dapat berlaku sebagian atau seluruhnya. Selanjutnya, besarnya NPAP ditetapkan dengan peraturan gubernur dan besarnya nilai perolehan air tanah ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.
Merujuk Pasal 24 UU PDRD, tarif PAP ditetapkan paling tinggi sebesar 10%. Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif PAP dengan NPAP. PAP yang terutang tersebut kemudian dipungut di wilayah daerah tempat air berada.
Sedangkan, berdasarkan Pasal 70 UU PDRD, tarif PAT ditetapkan paling tinggi 20%. Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif PAT dengan nilai perolehan air tanah. PAT yang terutang tersebut selanjutnya dipungut di wilayah daerah tempat air diambil.
Sejarah
SEBELUM menjadi pajak tersendiri, PAP dan PAT semula bernama pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan (PPPABTAP) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
PPPABTAP merupakan jenis pajak provinsi tetapi hasil penerimaanya diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota paling sedikit 70%. Namun, dalam UU PDRD yang diundangkan pada 15 September 2009, PPPABTAP dipecah menjadi dua jenis pajak yaitu PAP dan PAT. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.