DITJEN Bea dan Cukai (DJBC) memiliki proses baku yang tidak singkat dalam mengelola barang tegahan. Secara ringkas, barang yang ditegah tersebut akan melewati beberapa tahapan yang terdiri atas tahapan pemeriksaan, tahapan penetapan status, dan tahapan penyelesaian.
Pada tahapan pemeriksaan, pejabat bea cukai akan melakukan pencacahan barang untuk mengetahui jumlah saat awal ditegah. Pejabat bea cukai juga akan mendalami informasi melalui pemeriksaan subjek yang terkait dengan barang tersebut.
Pemeriksaan atas barang tegahan dilakukan dengan jangka waktu yang bervariasi bergantung pada kecukupan informasi yang diperoleh. Apabila informasi yang diperlukan telah memadai maka tahapan selanjutnya adalah penetapan status barang.
Untuk menentukan status barang tersebut, pejabat bea cukai harus mendalami status apa yang dapat dikategorikan ke dalam barang yang bersangkutan. Penetapan status barang tersebut di antaranya mengacu pada PMK 178/2019.
Merujuk pada PMK 178/2019, terdapat 3 status barang yaitu barang tidak dikuasai (BTD), barang dikuasai negara (BDN), dan barang milik negara (BMN). Lantas, apa yang dimaksud sebagai BMN dalam konteks kepabeanan dan cukai?
Barang milik negara (BMN) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (Pasal 1 angka (1) PMK 27/2014 s.t.d.d PMK 28/2020).
BMN yang berasal dari perolehan lain yang sah bisa dari beragam sumber, seperti hibah/sumbangan, pelaksanaan dari perjanjian/kontrak, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, hingga dari aset eks kepabeanan dan cukai.
Mengacu Pasal 1 angka (1) PMK 27/2014, BMN yang berasal dari aset eks kepabeanan dan cukai adalah barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai ditetapkan sebagai barang yang menjadi milik negara.
Secara lebih terperinci, merujuk Pasal 2 ayat (2) PMK 51/2021, barang yang menjadi milik negara bisa berasal dari 8 sumber. Pertama, barang yang dinyatakan tidak dikuasai (BTD) yang merupakan barang yang dilarang untuk diekspor atau diimpor.
Kedua, BTD yang dibatasi untuk diekspor atau diimpor dan tidak diselesaikan oleh pemiliknya dalam jangka waktu 60 hari terhitung sejak disimpan di tempat penimbunan pabean (TPP).
Ketiga, barang dan/atau sarana pengangkut yang ditegah oleh pejabat bea dan cukai dari tindak pidana yang pelakunya tidak dikenal.
Keempat, barang dan/atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di kawasan pabean oleh pemilik yang tidak dikenal dan tidak diselesaikan dalam 30 hari sejak disimpan di TPP.
Kelima, barang yang dikuasai negara (BDN) yang merupakan barang yang dilarang atau dibatasi (lartas) untuk diimpor atau diekspor. Keenam, barang dan/atau sarana pengangkut yang berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara.
Ketujuh, barang kena cukai (BKC) dan barang-barang lain yang berasal dari pelanggar tidak dikenal dikuasai negara dan berada di bawah pengawasan DJBC yang setelah 14 hari sejak dikuasai negara pelanggarnya tetap tidak diketahui.
Kedelapan, BKC yang belum diselesaikan kewajiban cukainya, yang pemiliknya tidak diketahui, dikuasai negara dan berada di bawah pengawasan DJBC dan telah diumumkan secara resmi untuk diselesaikan oleh yang bersangkutan dalam waktu 30 hari sejak dikuasai negara, yang bersangkutan tidak menyelesaikan kewajibannya
Atas barang-barang tersebut, pejabat bea cukai yang berwenang akan menyatakannya sebagai BMN. Pejabat bea cukai menetapkan status BMN dengan menerbitkan keputusan mengenai penetapan sebagai BMN.
Barang yang telah ditetapkan sebagai BMN kemudian akan disimpan di TPP atau tempat lain yang berfungsi sebagai TPP. Selain memindahkan BMN, pejabat bea cukai juga akan membukukan BMN ke dalam buku catatan pabean mengenai BMN.
Selanjutnya, barang yang berstatus sebagai BMN akan diajukan usulan peruntukannya. Usulan peruntukan BMN tersebut meliputi penjualan secara lelang, penetapan status barang (digunakan), hibah, pemusnahan, dan penghapusan.
Secara ringkas, BMN akan dilelang apabila secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara dan tidak melanggar undang-undang. Selanjutnya, apabila dapat digunakan maka BMN bisa dipakai untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/lembaga.
BMN juga dapat dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan sesuai tugas dan fungsi kementerian/lembaga. Lalu, BMN akan dihibahkan apabila dinilai dapat bermanfaat untuk kepentingan sosial, kebudayaan, keagamaan, dan kemanusiaan.
Kemudian, BMN akan dimusnahkan apabila barang tersebut tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan tidak dapat dihibahkan. BMN juga akan dimusnahkan apabila barang tersebut tidak mempunyai nilai ekonomi serta termasuk barang yang dilarang untuk ekspor/impor.
Terakhir, BMN akan dihapuskan dalam hal barang tersebut mengalami penyusutan atau hilang. Ketentuan lebih lanjut mengenai BMN dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah (PP) 27/2014 s.t.d.d PP 28/2020, PMK 178/2019, dan PMK 51/2021. (rig)