KAMUS PAJAK

Apa Itu PPh Final UMKM?

Nora Galuh Candra Asmarani
Senin, 07 Juli 2025 | 18.30 WIB
Apa Itu PPh Final UMKM?

DITJEN Pajak (DJP) menegaskan pemerintah tetap memberikan perpanjangan periode PPh final usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) orang pribadi meskipun Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022 belum direvisi.

Saat ini, pemerintah masih memproses revisi PP 55/2022. Kementerian Keuangan juga menunggu pembahasan revisi PP tersebut pada Kementerian Sekretariat Negara. Simak Soal Perpanjangan PPh Final UMKM, Revisi PP 55/2022 Masih Disiapkan

Pasal 59 PP 55/2022 mengatur jangka waktu PPh final UMKM paling lama 7 tahun pajak untuk orang pribadi; 4 tahun pajak untuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, BUMDes/BUMDesma, atau perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 orang; serta 3 tahun pajak untuk perseroan terbatas.

Jangka waktu tertentu pengenaan PPh final ini meneruskan jangka waktu berdasarkan PP 23/2018 atau tidak diulang dari awal. Apabila orang pribadi terdaftar setelah berlakunya PP 23/2018 pada 2018, artinya PPh final dimanfaatkan maksimal hingga tahun pajak 2024.

Namun, pada Desember 2024, pemerintah berencana memperpanjang jangka waktu pemanfaatan rezim PPh final untuk UMKM orang pribadi melalui revisi PP. Publik pun menanti landasan hukum perihal perpanjangan periode pemanfaatan PPh Final UMKM demi kepastian hukum.

Lantas, apa itu PPh Final UMKM?

Apabila ditelusuri tidak terdapat peraturan yang memberikan definisi PPh Final UMKM secara eksplisit. PPh Final UMKM merupakan istilah populer yang dipakai untuk menyebut PPh Final yang dikenakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Perincian ketentuan PPh Final bagi WPDN yang memiliki peredaran bruto tertentu tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

Merujuk Pasal 57 PP 55/2022, WPDN yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah: (i) wajib pajak orang pribadi; dan (ii) wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, perseroan terbatas (PT), atau badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun pajak.

Namun, WPDN yang memiliki peredaran bruto tertentu tersebut tidak termasuk:

  1. wajib pajak yang memilih dikenakan PPh berdasarkan: (i) tarif PPh Pasal 17 ayat huruf a UU PPh (untuk wajib pajak orang pribadi); atau (ii) tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh dengan mempertimbangkan Pasal 31E UU PPh (untuk wajib pajak badan);
  2. wajib pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa wajib pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus yang menyerahkan jasa yang sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
  3. wajib pajak badan yang memperoleh fasilitas PPh berdasarkan: Pasal 31A UU PPh (tarif 3% lebih rendah dari tarif wajib pajak badan); PP 94/2010; Pasal 75 dan Pasal 78 PP 40/2021 tentang penyelenggaraan kawasan ekonomi khusus (KEK); dan wajib pajak badan usaha tetap (BUT).

Ringkasnya, WPDN yang memiliki peredaran bruto tertentu ialah wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omzet) tidak lebih dari 4,8 miliar dalam 1 tahun pajak (sepanjang tidak termasuk yang dikecualikan).

Batasan omzet senilai Rp4,8 miliar tersebut serupa dengan batasan pengusaha kecil dalam konteks pajak pertambahan nilai (PPN). Dalam konteks PPh, adanya batasan omzet Rp4,8 miliar membuat WPDN yang memiliki peredaran bruto tertentu kerap disebut sebagai wajib pajak UMKM.

Sesuai dengan ketentuan, WPDN yang memiliki peredaran bruto tertentu alias wajib pajak UMKM dapat dikenakan PPh Final dengan tarif 0,5% dari jumlah omzet setiap bulan. Khusus bagi wajib pajak orang pribadi, PPh tersebut terutang jika omzetnya melampaui Rp500 juta dalam 1 tahun pajak.

Adanya perlakuan khusus inilah yang pada akhirnya membuat pengenaan PPh atas penghasilan yang diterima/diperoleh WPDN yang memiliki peredaran bruto tertentu disebut juga sebagai PPh Final UMKM.

Sekilas Historis Ketentuan PPh Final UMKM

Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang (UU) PPh, penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dapat dikenakan PPh yang bersifat final.

Perlakuan tersendiri atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu diberikan antara lain untuk kemudahan dan kesederhanaan dalam pemungutan pajak. Selain itu, perlakuan tersendiri diberikan untuk mengurangi beban administrasi wajib pajak.

Perincian ketentuan pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu tersebut diatur dalam peraturan pemerintah. Awalnya, pemerintah mengatur perlakuan PPh Final bagi wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu melalui PP 46/2013.

Melalui PP 46/2013, pemerintah mengenakan penghasilan dari wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dengan PPh final bertarif 1% dari jumlah peredaran bruto (omzet) setiap bulan. Selang 5 tahun, pemerintah merevisi ketentuan dalam PP 46/2013 melalui PP 23/2018.

Melalui PP 23/2018, pemerintah menurunkan tarif PPh Final bagi wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu dari 1% menjadi 0,5%. Selain menurunkan tarif, melalui PP 23/2018, pemerintah mengatur batasan waktu pengenaan PPh Final dengan tarif 0,5% dengan ketentuan sebagai berikut:

  • 7 tahun pajak bagi wajib pajak orang pribadi;
  • 4 tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma; dan
  • 3 tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

Jangka waktu tersebut dihitung sejak: (i) tahun pajak wajib pajak terdaftar, bagi wajib pajak yang terdaftar sejak berlakunya PP 23/2018 (1 Juli 2018); atau (ii) tahun pajak berlakunya PP 23/2018 bagi wajib pajak yang telah terdaftar sebelum 1 Juli 2018.

Selain itu, PP 23/2018 juga memberikan opsi untuk memilih menggunakan rezim PPh umum. Dalam perkembangannya, PP 23/2018 dicabut dan digantikan dengan PP 55/2022. Seperti beleid terdahulu, batasan omzet dalam PP 55/2022 ditetapkan sebesar Rp4,8 miliar.

Omzet tersebut merupakan jumlah omzet dalam 1 tahun pajak terakhir berdasarkan keseluruhan omzet usaha, termasuk omzet cabang. Selain itu, PP 55/2022 mengatur adanya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp500 juta bagi pelaku usaha UMKM orang pribadi.

Tarif PPh Final UMKM dalam PP 55/2022 masih sama, yaitu sebesar 0,5% dari jumlah omzet setiap bulan. Tarif tersebut tentu lebih rendah apabila dibandingkan dengan tarif PPh final dalam rezim PPh umum.

Secara ringkas, tarif PPh dalam rezim umum bagi wajib pajak badan dipatok sebesar 22%. Sementara itu, tarif PPh orang pribadi bersifat progresif mulai dari 5% sampai dengan 35%, tergantung besarnya penghasilan kena pajak (PKP) yang diterimanya selama setahun.

Selain tarif lebih rendah, skema PPh Final UMKM dinilai lebih sederhana. Sebab, PPh Final UMKM dikenakan berdasarkan pada omzet, bukan penghasilan kena pajak (PKP). Untuk mengetahui omzet, wajib pajak cukup mengandalkan pecatatan dan tidak perlu melakukan pembukuan.

Tambahan informasi, DDTC baru-baru ini juga merilis buku Terminologi Perpajakan: Bahasa Inggris-Bahasa Indonesia. Anda bisa mengakses secara penuh dan gratis buku tersebut melalui tautan berikut ini. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.