THE Law Review kembali menerbitkan edisi keenam dari buku Transfer Pricing Law Review pada Juli 2022. Dalam edisi kali ini, ada pembahasan rezim transfer pricing dari 15 negara.
Rezim transfer pricing di Indonesia masih menjadi salah satu bahasan dalam buku tersebut. Dalam edisi kali ini, pembahasan mengenai Indonesia masih kembali dipercayakan kepada dua pakar transfer pricing dari DDTC.
Mereka adalah Partner of Transfer Pricing Services Romi Irawan dan Associate Partner of International Tax Practice/Transfer Pricing Services Yusuf Wangko Ngantung. Kesempatan pada tahun ini merupakan kali kelima DDTC dipercaya sebagai kontributor pada buku tersebut.
Dalam edisi kali ini, Romi Irawan dan Yusuf Wangko Ngantung bergabung dengan kontributor yang berasal dari 14 negara lainya seperti Brazil, Canada, Cyprus, Jerman, India, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Luksemburg, Belanda, Portugal, Swiss, dan Britania Raya.
Steve Edge dan Dominic Robertson, editor buku ini, mengatakan Transfer Pricing Law Review dimaksudkan untuk memberi gambaran umum mengenai aturan transfer pricing. Setiap bab dalam buku ini merangkum regulasi transfer pricing yang substansif di tiap negara.
Setiap bab dalam buku ini merangkum aturan transfer pricing negara, menjelaskan penanganan sengketa transfer pricing mulai dari pemeriksaan awal hingga penyelesaian, serta membahas interaksi antara transfer pricing dan bagian lain dalam aturan pajak (seperti upaya pencegahan pajak berganda).
Selain Brazil, semua negara yang tercakup dalam tinjauan sudah menerapkan arm’s-length standard dan mematuhi, setidaknya sampai batas tertentu, sesuai dengan OECD Transfer Pricing Guidelines. Brazil sedang mempertimbangkan penyelarasan aturan transfer pricing dengan norma dari OECD.
Namun, masih ada perbedaan signifikan, baik dalam interpretasi negara terhadap arm’s-length standard (seperti metode penetapan harga yang lebih disukai) maupun dalam administrasi aturan (seperti persyaratan dokumentasi yang diberlakukan).
“Oleh karena itu, praktisi penetapan harga transfer tidak bisa begitu saja berasumsi bahwa OECD Transfer Pricing Guidelines berisi semua jawaban. Harus terlibat dengan penerapan perinciannya di setiap negara,” tulis Steve dan Dominic dalam pengantar buku ini.
Steve dan Dominic mengatakan adanya kepentingan ekonomi membuat aturan transfer pricing sebagai prioritas utama dalam agenda pajak perusahaan (lebih luas lagi menyangkut agenda politik) selama bertahun-tahun ke depan. Aturan akan terus berkembang pesat.
Mereka mengharapkan ada beberapa aspek yang akan menjadi salah satu fokus utama dalam beberapa tahun ke depan. Pertama, litigasi sengketa transfer pricing diproyeksi meningkat karena otoritas makin percaya diri dengan interpretasinya terhadap pedoman transfer pricing. Otoritas juga makin mewaspadai tekanan publik untuk membuat perusahaan besar membayar pajak dengan adil.
Kedua, sejumlah negara kemungkinan akan melihat sengketa terkait dengan transfer pricing dapat digunakan untuk mendefinisikan ulang jenis sebuah transaksi, bukan hanya untuk menyesuaikan harga transaksi.
Ketiga, banyak negara memperkuat persyaratan untuk TP Doc kontemporer, baik menyelaraskan dengan master file atau local file.
Keempat, proyek OECD/G-20 untuk mengatasi dampak digitalisasi terhadap pajak terus berkembang. Hal ini ditandai dengan beragamnya konsultasi tentang aspek-aspek terkait dengan 2 pilar yang tengah dimatangkan.
Salah satu aspek penting terkait dengan transfer pricing adalah disepekatinya sebagian dari keuntungan perusahaan multinasional (seluruh laba di atas 10% dari penghasilan) akan secara otomatis diberikan (realokasi) kepada yurisdiksi pasar.
Kesepakatan itu tentunya merupakan perubahan radikal dari standar kewajaran (arm’s-length) tradisional. Namun, perlu ditekankan, prinsip kewajaran akan terus memainkan peran penting bagi bisnis besar dan otoritas pajak.
Hal tersebut dikarenakan akan memakan waktu beberapa tahun agar aturan realokasi menjadi tertanam dalam undang-undang nasional dan perjanjian pajak berganda. Selain itu, standar kewajaran akan terus berlaku untuk sebagian besar bisnis yang berada di luar aturan realokasi, baik karena ukuran atau margin keuntungan.
Dalam Chapter 6 buku ini, Romi dan Yusuf mengawali pembahasan rezim transfer pricing di Indonesia dengan perkembangan dasar hukum yang sudah dirilis oleh pemerintah. Mereka menyebut Indonesia telah secara aktif mengubah regulasi tentang transfer pricing agar sejalan dengan Rencana Aksi BEPS OECD.
Langkah tersebut pada gilirannya membuat persyaratan transfer pricing documentation (TP Doc) lebih komprehensif dan berlaku bagi hampir setiap wajib pajak yang merupakan bagian dari grup perusahaan multinasional.
Romi dan Yusuf menekankan pentingnya wajib pajak untuk mempertimbangkan TP Doc sebagai garis pertahanan pertama dalam pemeriksaan. TP Doc yang kuat dapat membantu mengurangi sengketa dengan otoritas pajak.
Meskipun jumlah pemeriksaan pajak tetap tinggi selama 3-4 tahun terakhir, ada juga tren yang berkembang untuk pemanfaatan Advance Pricing Agreement (APA) di Indonesia sebagai sarana untuk menghindari sengketa atau mencapai penyelesaian.
"Meskipun APA relatif baru, prospeknya tetap menjanjikan karena dilaporkan bahwa Indonesia telah berhasil menyelesaikan banyak APA bilateral dengan negara-negara perdagangan utama," tulis Romi dan Yusuf dalam ulasannya.
Romi dan Yusuf juga membahas percepatan pembuatan kebijakan pajak menyangkut digitalisasi ekonomi setelah adanya pandemi Covid-19. Indonesia juga telah memperkenalkan pajak transaksi elektronik (PTE) meskipun belum diimplementasikan.
Di sisi lain, PPN atas produk digital dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) telah diterapkan tanpa gangguan. Hal ini dikarenakan sudah ada konsensus internasional tentang destination principle pada PPN. Dengan demikian, kebijakan ini hanya bersifat terobosan administrasi.
Sebagai informasi, The Law Reviews merupakan penerbit dari Inggris yang berkomitmen dalam memberikan tinjauan hukum bisnis di berbagai negara. Berbagai isu mulai dari hukum investasi, restrukturisasi usaha, hingga kompetisi usaha sudah dituangkan dalam buku.
Buku ini juga memberikan potret baik di negara maju dan berkembang yang akhirnya memberikan paduan yang menarik tentang konsistensi penerapan arm’s length principle. Perkembangan pengaturan di berbagai negara juga sejalan dengan dinamika terbaru perpajakan internasional.
Buku ini sangat berguna tidak hanya bagi praktisi, dunia usaha dan akademisi, tapi juga bagi pembuat kebijakan di Indonesia. Informasi mengenai perbandingan ketentuan transfer pricing di berbagai negara bisa dijadikan suatu benchmark bagi desain ketentuan di Indonesia.
Bagaimana, tertarik membaca buku ini? Anda bisa berkunjung ke DDTC Library. (kaw)