RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Biaya Perawatan Aset Sebagai Objek PPh 23

DDTC Fiscal Research and Advisory
Senin, 24 November 2025 | 14.00 WIB
Sengketa Biaya Perawatan Aset Sebagai Objek PPh 23
<p>Ilustrasi.</p>

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa atas koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 atas biaya perawatan mesin, perawatan pabrik, dan keperluan pabrik.

Otoritas pajak berpendapat bahwa terdapat objek PPh Pasal 23 yang belum dilaporkan dan juga belum dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. Sebab, wajib pajak tidak dapat membuktikan bahwa pengeluaran atas biaya-biaya tersebut adalah pembelian barang.

Sebaliknya, wajib pajak berpendapat bahwa sebagian besar pengeluaran yang dikoreksi bukan merupakan pengeluaran untuk jasa, melainkan pembelian spare part, perlengkapan pabrik, dan material yang digunakan dalam proses pemeliharaan. Proses pemeliharaan tersebut dilakukan oleh pihak internal Termohon PK sehingga tidak terdapat objek PPh Pasal 23 yang terutang.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan bahwa mengabulkan sebagian permohonan banding atas koreksi DPP PPh Pasal 23. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau perpajakan.id.

Kronologi

Wajib pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa koreksi positif atas DPP PPh Pasal 23 tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Sebab, wajib pajak dapat membuktikan pemeliharaan atau perawatan pabrik, dikerjakan oleh karyawan perusahaannya sendiri sehingga tidak ada objek PPh Pasal 23 yang terutang.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkan Putusan Pengadilan Pajak PUT. 45982/PP/M.XV/12/2013 tanggal 28 Juni 2013, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 09 Oktober 2013.

Adapun pokok sengketa dari perkara ini adalah koreksi DPP PPh Pasal 23 sebesar Rp1.920.458.794 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

Pemohon PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sengketa ini muncul ketika Pemohon PK melakukan ekualisasi SPT PPh Pasal 23 dengan biaya pada general ledger atau buku besar Termohon PK.

Mengacu pada ekualisasi tersebut, terdapat objek PPh Pasal 23 yang ternyata belum dilaporkan dalam SPT masa PPh Pasal 23 dan belum dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. Adapun objek PPh Pasal 23 yang dimaksud ialah biaya perawatan mesin, perawatan pabrik, dan keperluan pabrik yang dikategorikan sebagai biaya pembayaran jasa kepada pihak lain.

Dalam proses persidangan banding, Termohon PK juga tidak dapat membuktikan bahwa atas biaya-biaya tersebut dikategorikan sebagai pembelian barang dan bukan jasa. Selain itu, Pemohon PK menilai bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah melakukan kekeliruan dalam menilai fakta dan bukti yang diungkap dalam persidangan.

Lebih lanjut, Pemohon PK menegaskan bahwa Termohon PK tidak pernah menyerahkan dokumen pendukung pada tahap pemeriksaan. Dalam hal ini, dokumen pendukung baru diserahkan pada saat proses persidangan banding dilakukan.

Menurut Pemohon PK, dokumen yang disampaikan pada saat proses banding seharusnya tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti. Hal ini sesuai Pasal 26A ayat (4) UU KUP yang menegaskan bahwa bukti-bukti hanya dapat dipergunakan apabila telah disampaikan pada tahap pemeriksaan pajak.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Pemohon PK menyatakan bahwa koreksi PPh Pasal 23 yang dilakukannya sudah tepat. Oleh karenanya, Termohon PK memiliki kewajiban melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas seluruh biaya yang dikategorikan sebagai pembayaran jasa kepada pihak lain.

Sebaliknya, Termohon PK tidak sependapat dengan Pemohon PK. Termohon PK menilai bahwa pengeluaran berupa biaya perawatan mesin, perawatan pabrik, dan keperluan pabrik tidak dapat dikategorikan sebagai imbalan jasa yang menjadi objek PPh Pasal 23.

Termohon PK menyatakan bahwa biaya yang disengketakan merupakan pembelian barang seperti spare part, perlengkapan pabrik, dan material pemeliharaan yang digunakan untuk kegiatan perawatan. Adapun kegiatan perawatan dilakukan sendiri oleh Termohon PK tanpa menggunakan jasa dari pihak ketiga.

Dengan demikian, Termohon PK menilai bahwa koreksi PPh Pasal 23 tidak dapat dibenarkan karena terdapat kekeliruan dalam mengklasifikasikan objek pajak. Oleh karenanya, Termohon PK menyimpulkan bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak sudah tepat.

Pertimbangan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Sebab, putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat dan benar. Pertimbangan hukum Mahkamah Agung dapat dilihat sebagai berikut.

Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil permohonan PK, Mahkamah Agung menilai tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menyatakan bahwa permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan ditolaknya permohonan PK, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.