DALAM setiap tahun pajak, laporan keuangan yang disusun oleh wajib pajak yang menjalankan usaha umumnya harus disesuaikan dengan peraturan pajak. Penyesuaian tersebut harus dilakukan ketika laporan keuangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk membuat surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh).
Penyesuaian ini lebih dikenal dengan istilah rekonsiliasi fiskal atau koreksi fiskal. Secara umum, rekonsiliasi fiskal dilakukan karena terdapat perbedaan penghitungan antara laba menurut akuntansi (komersial) dan laba menurut perpajakan (fiskal).
Hal ini lantaran laporan keuangan komersial atau bisnis umumnya ditujukan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial dari sektor swasta. Sementara itu, laporan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajak terutang.
Selain itu, laporan keuangan komersial disusun berdasarkan prinsip yang berlaku umum, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Sementara itu, laporan keuangan untuk kepentingan perpajakan disusukan berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Berdasarkan pembebanannya, laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal dapat dibedakan dua macam, yaitu: beda tetap atau beda permanen (permanent differences) dan beda waktu (timing differences). Lantas, apa itu beda tetap dan beda waktu dalam rekonsiliasi fiskal?
Beda tetap merupakan perbedaan yang terjadi karena adanya ketidaksamaan pengakuan penghasilan dan beban/biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan UU PPh. Artinya, ada penghasilan dan biaya yang diakui menurut akuntansi komersial, tetapi tidak diakui secara fiskal, atau sebaliknya (Agoes dan Trisnawati, 2013).
Perbedaan tetap mengakibatkan laba (rugi) menurut akuntansi komersial berbeda secara tetap dengan penghasilan (laba) kena pajak (Resmi, 2016). Perbedaan secara tetap (permanen) berarti koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak.
Dengan kata lain, dalam beda tetap, penghasilan dan biaya yang diakui dalam penghitungan laba untuk akuntansi komersial tidak diakui dalam penghitungan penghasilan kena pajak. Beda tetap di antaranya terjadi karena peraturan pajak mengharuskan 4 hal berikut dikeluarkan dari penghitungan penghasilan kena pajak.
Pertama, penghasilan yang telah dikenakan PPh yang bersifat final (Pasal 4 ayat (2) UU PPh). Misal, bunga deposito dan tabungan lainnya, hadiah undian, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, dan penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan.
Kedua, penghasilan yang bukan objek pajak (Pasal 4 ayat (3) UU PPh). Misal, warisan, bantuan atau sumbangan serta harta hibahan yang memenuhi ketentuan pengecualian, dividen yang memenuhi ketentuan pengecualian, dan beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu.
Ketiga, biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan bruto/non-deductible expense (Pasal 9 ayat (1) UU PPh). Misal, pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen; biaya untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; PPh, dan sanksi perpajakan.
Keempat, biaya yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang bukan objek pajak dan penghasilan yang telah dikenakan PPh yang bersifat final. Simak Contoh Kasus Beda Tetap dalam Rekonsiliasi Fiskal
Perbedaan waktu merupakan perbedaan waktu pengakuan penghasilan dan biaya biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan UU PPh. Artinya, suatu penghasilan atau biaya telah diakui menurut akuntansi komersial, tetapi belum diakui menurut fiskal, atau sebaliknya (Resmi, 2016).
Dengan demikian, penghasilan atau biaya berdasarkan akuntansi komersial maupun fiskal sebenarnya sama, tetapi berbeda alokasi setiap tahunnya (Agoes dan Trisnawati, 2013). Perbedaan ini bersifat sementara (temporer) karena akan tertutup pada periode sesudahnya (Resmi, 2016).
Beda waktu biasanya timbul karena perbedaan metode pengakuan penghasilan atau biaya yang dipakai antara akuntansi komersial dan fiskal. Misal, metode penyusutan dan amortisasi; penilaian persediaan; dan kompensasi kerugian (Agoes dan Trisnawati, 2013).
Untuk memperjelas pembahasan berikut contoh sederhana penyusutan harta berwujud yang mengakibatkan perbedaan bersifat sementara (waktu). Suatu harta berwujud mempunyai harga perolehan Rp600.000.000.
Menurut ketentuan fiskal harta berwujud tersebut termasuk nonbangunan kelompok I (masa manfaat 4 tahun), sedangkan menurut akuntansi komersial ditaksir mempunyai umur ekonomis 5 tahun..
Menurut akuntansi komersial, besarnya penyusutan setiap tahun adalah Rp120.000.000 (Rp600.000.000:5). Sementara itu, besarnya penyusutan menurut fiskal adalah senilai Rp150.000.000 (Rp600.000.000:4).
Perbedaan penyusutan ini mengakibatkan laba tahun pertama sampai dengan keempat menurut akuntansi komersial lebih tinggi senilai Rp30.000.000 dibandingkan laba tahun pertama sampai dengan keempat menurut fiskal.
Jumlah perbedaan selama empat tahun tersebut sebesar Rp120.000.000 (4 tahun x Rp30.000.000). Pada akhir tahun kelima tidak ada biaya penyusutan dalam laporan laba rugi fiskal, sementara dalam laporan laba rugi komersial masih terdapat biaya penyusutan sebesar Rp120.000.000.
Dengan asumsi tidak ada perbedaan biaya dan penghasilan lain menurut akuntansi komersial dan fiskal, setelah akhir tahun kelima maka jumlah biaya penyusutan menurut akuntansi (5 x Rp120.000.000) sama dengan menurut fiskal (4 x Rp150.000.000). (rig)
